Seorang penumpang berjalan di atas kapal pesiar Ovation of the Seas menjelang pelayaran perdananya di terminal internasional Cruise di timur laut China Tianjin Municipality, 24 Juni 2016. Salah satu kapal pesiar termegah di tahun 2016 ini, memiliki berat sekitar 168.666 ton dengan panjang 1.141 kaki atau 347 meter. (AP Photo)
TEMPO.CO, Beijing - Otoritas Cina mengumumkan akan mengirim delapan kapal pesiar yang dipenuhi wisatawan yang berlibur ke Laut Cina Selatan. Rencana ini hanya berselang beberapa hari di tengah ketegangan yang semakin memuncak di wilayah itu.
Meskipun Pengadilan Tetap Arbitrase di Den Haag sudah memutuskan Beijing tidak memiliki dasar hukum untuk mengklaim sebagian besar wilayah Laut Cina Selatan, Cina tak mengindahkan putusan tersebut. Negara itu tidak mengakui putusan yang dianggap cacat hukum tersebut.
Seperti dilansir Channel News Asia pada Kamis, 21 Juli 2016, pelayaran itu dioperasikan Sanya International Cruise Development Co Ltd, yang bekerja sama dengan perusahaan China Communications Construction Co Ltd dan China National Travel Service (HK) Group Corp.
Sanya International sudah menangani satu kapal pesiar di wilayah itu, yang dinamai “Impian Laut Cina Selatan”. Selain membeli 5-8 kapal lagi, rencana itu juga mencakup pembangunan empat pelabuhan baru di Kota Sanya, sebuah kota resor Cina di provinsi selatan Pulau Hainan.
"Kapal-kapal akan melakukan perjalanan ke gugusan Kepulauan Crescent, bagian dari Paracel, dan mempertimbangkan pelayaran di sekitar Laut Cina Selatan pada waktu yang tepat," kata Liu Junli, Presiden Sanya International Cruise. Junli juga menuturkan hotel, vila, dan sejumlah toko akan dibangun di Crescent.
Kapal pesiar pertama dari Cina pergi ke pulau-pulau Paracel, yang diluncurkan Hainan Selat Shipping Co pada 2013. Beijing juga mengatakan ingin membangun resor bergaya Maladewa di sekitar Laut Cina Selatan.
Cina mengklaim hampir 90 persen dari total luas Laut Cina Selatan kaya energi dan sumber daya alam lain. Brunei, Malaysia, Filipina, Vietnam, dan Taiwan juga mengklaim beberapa bagian dari perairan yang menjadi jalur perdagangan dengan nilai sekitar US$ 5 triliun setiap tahun itu.
Cina telah menolak mengakui putusan Pengadilan Tetap Arbitrase di Den Haag, yang membatalkan klaim teritorial yang luas di Laut Cina Selatan dan tidak mengambil bagian dalam proses yang dibawa Filipina tersebut.