Wawancara Hassan Wirajuda Soal Arbitrase Laut Cina Selatan
Editor
Natalia Santi
Jumat, 15 Juli 2016 06:54 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Para pakar hukum internasional menyambut baik keputusan pengadilan arbitrase permanen di Den Haag dalam kasus yang diajukan Filipina terhadap Cina soal sejumlah masalah di Laut Cina Selatan, Selasa, 12 Juli 2016.
Salah satunya, Hassan Wirajuda, mantan Menteri Luar Negeri RI, doktor dalam Ilmu Hukum Internasional soal politik dan hukum laut lulusan University of Virginia, Centre for Ocean Law and Policy 1988.
“Dari segi proses, saya sejak awal menyambut baik inisiatif pemerintah Filipina untuk membawa sengketa dengan Tiongkok mengenai Laut Cina Selatan ke arbitrase internasional, Permanent Court of Arbitration,” kata Hassan saat dihubungi Tempo via telepon, Selasa malam.
Tidak seperti tanggapan Cina yang selama ini menyatakan penyelesaian sengketa melalui proses arbitrase sebagai agitasi, menurut Hassan, pengajuan tersebut merupakan upaya mencari solusi damai.
Keputusan mahkamah arbitrase menyelesaikan perdebatan teoritis tentang klaim masing-masing pihak, baik Filipina maupun Cina dan argume-argumen di balik klaim tersebut.
“Tetapi karena yang diajukan Filipina, bukan hanya menyangkut bagian-bagian yang disengketakan kedua negara, tetapi juga menyangkut klaim besar Tiongkok mengenai apa yang disebut sebagai nine dash line, yang pada gilirannya, sesungguhnya mempengaruhi semua negara yang menjadi claimant selama ini, yakni Vietnam, Malaysia, Brunei, Filipina, dan meski tidak resmi juga Indonesia,” papar Hassan.
Indonesia bukan negara yang bersengketa atau claimant, namun dari kacamata Cina, dengan klaimnya tentang hak sejarah dan digambarkan dalam bentuk nine dash line, wilayahnya tumpang tindih dengan zona ekonomi eksklusif Indonesia.
“Poin tentang keabsahan klaim nine dash line mempengaruhi posisi tawar kita dengan Cina, di wilayah zona ekonomi eksklusif di sebelah timur Natuna, berkaitan dengan hak berdaulat atau sovereign right,” kata Hassan yang mendapatkan gelar Master of Law (LL.M) di Harvard University School of Law itu.
<!--more-->
Berbeda dengan hak kedaulatan, hak berdaulat merupakan hak negara pantai untuk mengambil sumber daya alam di perairan zona ekonomi eksklusif.
Menurut Hassan, nine dash lain atau sembilan garis putus yang diklaim Cina, tidak pernah jelas koordinatnya. Hal itu juga pernah disampaikan Hasan dalam berbagai kesempatan termasuk dalam dialog Cina-ASEAN di Hainan beberapa waktu lalu.
Terkait dengan traditional fishing ground atau zone yang digadang-gadang Cina, sudah lama dibantah Hasan langsung saat berhubungan dengan Cina. " Saat kita menangkap delapan kapal dan 75 kru, mereka protes keras, saya ke Beijing. Saya tegaskan 'Anda tahu di UNCLOS tidak ada traditional fishing ground atau zone'," kenang Hassan.
Konvensi hukum laut PBB atau UNCLOS hanya mengatur hak nelayan tradisional yang kemudian diatur dalam kesepakatan bilateral. Contohnya yang dimiliki Indonesia-Malaysia dan Indonesia dengan Australia.
Cina bukan tidak paham UNCLOS. Selain menjadi negara negosiator UNCLOS, Cina adalah salah satu negara penandatangan UNCLOS pada 1982 dan meratifikasinya pada 1989.
Keputusan mahkamah yang diterbitkan pada Selasa menyangkut beberapa hal. Yakni poin yang digugat Filipina, yaitu hak sejarah, fitur-fitur maritime seperti karang, batuan, boleh tidaknya mengklaim diukur sejauh 200 mil sebagai zona ekonomi eksklusif. Filipina juga meminta mahkamah menilai apakah tindakan Cina di fitur-fitur laut itu sejalan dengan hukum itu.
“Dari masalah pokok yang diajukan, putusan mahkamah menolak klaim yang diajukan Cina,” kata Hassan.
Mengenai hak sejarah dan nine dash line, UNCLOS secara komprehensif mengatur bentuk-bentuk wilayah maritim, yaitu laut wilayah 12 mil, zona ekonomi ekslusif 200 mil. Diukur dari mana, apakah batu, karang atau contohnya Kepulauan Spratly, apakah keseluruhn pulau berhak mengklaim sona ekonomi eksklusif.
“Tidak serta merta, karena batuan dan paparan yang tidak muncul ketika gelombang pasang tidak berhak atas ZEE,” kata Hassan.
Mahkamah juga menyalahkan reklamasi yang dilakukan Cina, karena reklamasi mengubah bentuk alami dari bebatuan.
Dari segi keputusan, mahkamah banyak memberikan tafsiran atau pedoman, bagaimana para pihak nantinya menyelesaikan masalah bilateral. “Atau juga sebagai kawasan dalam rangka menyusun suatu code of conduct (tata perilaku) atau DOC, dia bisa menjadi petunjuk yang berharga,” kata Hassan. “Dan sebagai putusan mahkamah arbitrase internasional, dia jadi preseden bagi putusan-putusan proses pengadilan yang mendatang.”
Namun yang menjadi persoalan, sejak awal Cina menolak hal ini. “Sejak keputusan Kemlu Tiongkok juga sudah menolak, keputusan mahkamah tidak serta merta bisa diimplementasikan,” kata Hassan.
Dia membandingkan masalah yang sama dengan keputusan arbitrase antara Belanda dan Amerika soal Pulau Miangas pada 1928. Saat itu, kedua pihak menerima keputusan arbitrase yang memenangkan Belanda sebagai pemilik Pulau Miangas. Karena itu, Pulau Miangas menjadi milik Indonesia sekarang.
“Karena Cina menolak keputusan mahkamah, keputusan mahkamah tidak serta merta dilaksanakan, tapi juga tidak dapat dianggap sambil lalu. Secara tidak langsung, nilai-nilai substansi keputusan bisa dipedomani Cina dalam mengambil kebijakan dan dialog atau negosiasi langsung antara pihak yang bersengketa dengan Cina,” kata Hassan.
Saat ditanya Tempo, apakah dengan penolakan Cina, Filipina bisa melaporkannya ke Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa, menurut Hassan boleh saja. “Tetapi apakah Dewan Keamanan akan membahas, kita tahu ada anggota tetap dan hanya upaya untuk membahas masalah, akan mengagendakan. Susahnya, kelemahan sistem hukum internasional adalah tidak adanya kekuatan memaksa, apalagi berkaitan dengan negara-negara anggota tetap Dewan Keamanan,” papar Hassan.
<!--more-->
Saat ditanya apakah Cina bisa menerima keputusan mahkamah pada akhirnya, atau apakah upaya diplomasi dimungkinkan untuk membujuk Cina, Hasan merasa optimistis bahwa hal itu dimungkinkan. “Tapi tidak dalam waktu dekat,” kata dia.
“Melalui waktu, melalui dialog dan negosiasi, bisa juga secara sadar atau tidak perlu terbuka menolak, mengadopsi nilai-nilai substansi, seni diplomasinya nanti,” kata Hassan.
Dia menegaskan perlunya melakukan dialog dengan Cina, kalau bisa dengan negara-negara masing-masing pihak di Laut Cina Selatan. “Paling tidak upaya kolektif ASEAN untuk berdialog dengan Cina, itu harus diteruskan,” kata Hassan.
Mantan Menlu RI pada 2001-2009 itu menyatakan pada 2011 di Bali berhasil menyepakati tata perilaku dalam salah satu dialog ASEAN. “Malah ada target untuk mengusung satu perangkat aturan code of conduct (tata perilaku) yang mengikat,” kata dia, sambil mencatat upaya lima tahun yang lalu itu belum ada hasilnya sampai sekarang.
Dia menilai ASEAN sejak pertemuan di Kamboja pada 2012, tidak lagi kompak. Ketidakompakan itu terus berlanjut dan tampak dalam Pertemuan Cina-ASEAN di Kunming, baru-baru ini. “Kepemimpinan Indonesia diperlukan. Saya tidak pesimis, kita lihat saja. Presiden Joko Widodo mulai kerap hadir di pertemuan internasional. Diperlukan tokoh intelektual, negarawan,” kata Hassan.
Dia mengutip sebuah pertemuan di Prancis, saat itu membahas kepemimpinan di sana disebutkan bahwa seorang pemimpin yang bertumbuh dari pemilihan yang demokratis, perlu dua tahun untuk akrab dengan masalah internasional.
Indonesia juga harus berani menghadapi Cina dengan argumen yang baik. "Dialog dengan Tiongkok, kita punya posisi yang jelas. Jadi hadapi dengan dialog. Kalau dia bandel juga, masih main kayu, kita bisa bawa juga ke mahkamah internasional. Itu bukan konfrontasi tapi solusi damai untuk menyelesaikan konflik," kata Hassan.
Kepada Cina, Hassan juga pernah mempertanyakan sebagai negara yang memiliki hakim di mahkamah internasional, mengapa hanya berani mengadili masalah negara lain, tetapi tidak berani menghadapi masalah sendiri. "Anda punya hakim di mahkamah internasional, tetapi kenapa hanya berani mengadili masalah negara lain?" kata Hasan.
NATALIA SANTI