TEMPO.CO, Manila - Presiden Filipina terpilih, Rodrigo Duterte, akan membebaskan seluruh tahanan komunis sebagai upaya mengawali perundingan damai guna mengakhiri pemberontakan yang berlangsung bertahun-tahun.
"Pemberontakan itu telah menewaskan puluhan ribu orang," kata seorang pembantu Duterte, Selasa, 10 Mei 2016.
Menurut dia, Duterte akan diambil sumpahnya sebagai Presiden Filipina pada 30 Juni 2016 setelah meraih kemenangan dalam pemilihan umum pada Senin, 9 Mei 2016. Dia menjelaskan, Duterte juga telah menunjukkan kesiapannya membebaskan seluruh pemberontak.
"Hal itu sebagai faktor kunci untuk memecah kebuntuan perundingan yang macet sejak tiga tahun lalu,'" jelasnya.
Pemimpin Filipina sebelumnya, Benigno Aquino, mengakhiri perundingan dengan Partai Komunis Filipina pada 2013 setelah para pemberontak itu menuntut pembebasan seluruh tahanan tanpa syarat.
Juru bicara Duterte, Peter Lavina, mengatakan presiden terpilih akan mengizinkan para pemimpin komunis di pengasingan kembali ke Filipina untuk melakukan perundingan dan meninjau kembali statusnya sebagai tahanan politik.
Lavina mengusulkan agar pemerintahan baru tidak menolak permintaan pembebasan seluruh tahanan agar mereka bisa ikut serta dalam babak perundingan. Selain itu, pemerintah juga diminta mengizinkan tahanan berobat di luar penjara. "Ini sangat penting membebaskan tahanan politik untuk berobat di luar penjara," katanya.
Duterte dikenal sebagai seorang wali kota berhaluan keras dalam menghadapi kaum begundal. Dia pernah memerintahkan pasukan keamanan membunuh lebih dari seratus orang yang diduga pelaku kejahatan di Davao. Pria 71 tahun itu kawan karib Jose Maria Sison, pendiri Partai Komunis Filipina pada 1968, yang kini tinggal di pengasingan Belanda.
Begini Konflik Antara Duterte dan Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr
31 Januari 2024
Begini Konflik Antara Duterte dan Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr
Marcos bekerja sama dengan putri Duterte, Sara, untuk menjadikannya wakil presiden dalam kemenangan Pemilu 2022. Namun, keretakan dalam aliansi keluarga tersebut muncul ketika petahana telah menyimpang dari kebijakan anti-narkoba dan kebijakan luar negeri pendahulunya.