Video yang dirilis oleh Boko Haram jaringan teroris Nigeria pada 12 Mei 2014 menunjukkan gadis-gadis yang hilang yang diduga diculik dari kota timur laut Chibok. Kelompok teror mengatakan banyak dari mereka telah dikonversi dari Kristen ke Islam selama ditahan. AP
TEMPO.CO, Abuja - Pemerintah Nigeria bak menabrak tembok. Ketidakmampuan untuk menemukan lebih dari 200 gadis sekolah yang diculik kelompok Boko Haram sebulan lalu memaksa Presiden Goodluck Jonathan untuk memohon bantuan asing. Tahun ini adalah tahun kelima Nigeria berjuang memerangi kelompok teroris Boko Haram.
Permintaan ini dengan cepat ditanggapi Amerika Serikat. Satu tim ahli beranggotakan 30 orang dari AS tiba di Nigeria pekan lalu. Mereka terdiri atas pejabat Departemen Luar Negeri, ahli komunikasi strategis, ahli keamanan sipil, dan petugas medis regional. Dalam manifes tim juga terdapat sepuluh pejabat Departemen Pertahanan yang sudah lebih dulu berada di Nigeria, tujuh penasihat militer, dan empat pejabat FBI yang ahli dalam negosiasi sandera.
Banyak pihak menyatakan Nigeria terjebak dalam posisi yang sulit terkait bantuan dari Abang Sam itu. Di satu sisi, peralatan yang canggih memungkinkan mereka menemukan korban penculikan sekaligus melumpuhkan penculiknya. Namun di sisi lain, ada pertanyaan tentang motivasi AS berdasarkan apa yang dilakukan negara adidaya itu pada negara lain.
"Inilah waktunya bagi AS untuk melakukan apa yang selama ini ingin mereka lakukan," kata Debo Bashorun, mantan sekretaris pers presiden Ibrahim Babangida di akhir 1980-an. Ia kini menjadi tokoh yang vokal mengkritisi militer Nigeria.
Dia mengacu pada US Africa Command (Africom) yang dikelola oleh Departemen Pertahanan AS dan didirikan oleh Presiden George W. Bush pada 2007. Sejak awal, para pemimpin Afrika menentang upaya pendirian markasnya di Afrika.
Dalam perjalanan resmi pertamanya ke Washington sebagai presiden pada Desember 2007 atas undangan Presiden Bush, Presiden Nigeria Yar'Adua membuat komentar yang ditafsirkan bahwa ia tunduk pada kemauan AS soal Africom. Hal ini disambut reaksi marah warga sekembalinya sang presiden ke Tanah Air. Bahkan, untuk meredamnya, Yar'Adua menyatakan bahwa ia "tidak setuju Afrikom didirikan di Afrika."
Ibrahim Babangida juga menggarisbawahi bahwa sepanjang sejarah hubungan AS dengan negara lain adalah hubungan transaksional. Ia mencontohkan apa yang terjadi di Irak dan Pakistan. "Nilai kumulatif dari bantuan militer AS untuk Pakistan, senilai US$ 20 miliar pada waktu itu, menjadi tidak penting dibandingkan dengan kerugian Pakistan dari perang melawan teror yang menelan biaya hingga US$ 68 miliar," katanya.
Bashorun menyatakan niat AS tak pernah jujur. "Mereka memberikan Anda 10 naira dan dalam jangka panjang mereka akan mengambil 50 naira dari kita," katanya.