Sejumlah demonstran anti-pemerintah mendirikan tenda di Jembatan Rama VIII di Bangkok (4/2). Pengunjuk rasa anti-pemerintah telah berkemah di jalan-jalan Bangkok selama berbulan-bulan dalam upaya untuk "menutup" ibukota Thailand dan menggulingkan Perdana Menteri Yingluck Shinawatra. REUTERS/Athit Perawongmetha
TEMPO.CO, Jakarta - Ibu kota Thailand kembali dikagetkan oleh suara tembakan pada Rabu, 26 Februari 2014, dinihari. Desingan peluru terjadi di dekat kamp demonstran anti-pemerintahan Perdana Menteri Yingluck Shinavatra.
Menurut Kepala Keamanan Nasional Thailand, Paradorn Pattanathabutr, belum ada laporan korban tewas atau terluka dalam insiden itu. "Siapa pelakunya, kami masih belum tahu," ujar Pattanathabutr ke Reuters.
Di Bangkok, menurut Pattanathabutr, suara tembakan dan bom menjadi hal yang wajar dalam beberapa bulan terakhir. Beberapa dari insiden itu menelan korban jiwa. Salah satunya adalah ledakan bom di Pusat Perbelanjaan Big C Ratchadamri, Ahad, 23 Februari 2014. Dalam tragedi itu, dua orang tewas dan 27 luka-luka.
Sebelumnya, satu balita dan 41 orang cedera dalam serangan terhadap kelompok anti-pemerintah di Distrik Khao Saming, Provinsi Trat, sekitar 180 kilometer dari ibu kota Bangkok.
Bluesky TV, stasiun televisi yang mendukung gerakan demonstran, menyiarkan gerakan pengunjuk rasa di depan Markas Besar Kepolisian Bangkok. Mereka menuntut penyelidikan atas tewasnya 20 orang sejak demo anti-pemerintah November 2013. "Para pengunjuk rasa menuding polisi sebagai antek Thaksin," tulis situs berita The Malay Mail Online.
Seorang pemimpin demonstran, Anchalee Paireerak menyatakan polisi harus bekerja jujur dan lugas. Pengunjuk rasa pun mendesak polisi bergabung dengan mereka dalam aksi jalanan. "Kami mendesak mereka berhenti melayani rezim Thaksin," ujar Paireerak.