TEMPO.CO, Washington - Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry memulai lawatan pertamanya sebagai diplomat utama Amerika pada Ahad lalu. Jadwalnya padat. Dalam 11 hari, veteran Senator AS yang membidangi hubungan luar negeri ini akan mengunjungi sembilan negara. Dia mengawali kunjungannya ke Eropa, setelah itu ke Timur Tengah.
Empat tahun lalu, pendahulunya, Hillary Clinton, melakukan lawatan pertamanya ke timur sebagai bagian dari visi Presiden AS Barack Obama yang ingin menciptakan 'poros Asia'. Kini, dengan memilih Eropa sebagai tujuan pertama lawatannya, Kerry mengirimkan sinyal terang bahwa kawasan ini penting bagi Washington.
Ada sejumlah hal yang membuat Uni Eropa mendapatkan perhatian utama Kementerian Luar Negeri AS. Pemerintahan Obama membutuhkan bantuan dan dukungan negara di kawasan ini untuk menghentikan program nuklir Iran, serta membantu oposisi di Suriah - yang sedang berjuang menjatuhkan Presiden Bashar al-Assad.
Sebelum Kerry bertolak dari Washington, ia sudah merasakan sinyal awal kekacauan dari Suriah. Ahad lalu, Koalisi Oposisi Suriah marah karena dunia internasional tak beraksi saat tentara Pemerintah Suriah menyerang Aleppo. Mereka mengancam akan memboikot pertemuan di Roma, Italia, yang juga akan dihadiri Kerry. Menjawab ancaman oposisi itu, Kementerian Luar Negeri AS mengeluarkan pernyataan mengutuk keras serangan itu. Selain ke Suriah, Kerry juga akan mengunjungi Mesir yang belakangan ini sedang diguncang aneka protes anti-pemerintah, selain harus berjibaku menghadapi masalah ekonomi di dalam negeri.
Namun Kementerian Luar Negeri menyatakan dalam perjalanan ini Kerry diperkirakan tak akan membuat skema kebijakan baru. Juru bicara Kementerian Luar Negeri AS Victoria Nuland mengatakan, "Dia mencirikan perjalanan ini sebagai 'listening tour' (lawatan untuk mendengarkan)."
Ada sejumlah alasan untuk optimistis bahwa Kerry akan memberikan arah berbeda dari kebijakan luar negeri AS. Sewaktu berdiskusi dengan Menteri Luar Negeri Inggris William Hague bulan lalu di Washington, Kerry mengatakan AS perlu menunjukkan kepemimpinan baru di Timur Tengah dan memperingatkan bahwa harapan untuk solusi dua-negara Israel/Palestina bisa menyelinap pergi.
Ada harapan bahwa Kerry akan mengalami nasib berbeda dengan pendahulunya, Clinton. Menurut sejumlah diplomat Barat, Clinton tidak pernah bisa menentukan sendiri kebijakan-kebijakan yang signifikan. "Barack Obama adalah presiden yang paling mengontrol kebijakan luar negerinya sejak era Richard Nixon," kata Aaron David Miller, mantan penasihat urusan Timur Tengah sejumlah Menteri Luar Negeri AS.
Kabar yang beredar di Washington, Kerry mengisyaratkan bahwa dia tidak akan menerima jabatan menteri luar negeri tanpa jaminan dia diperbolehkan memimpin inisiatif soal isu internasional, yang sebelumnya tak diberikan kepada Clinton. Analis dari Foreign Policy, Jonathan Schanzer, meragukan Kerry bisa mendapatkannya. "Saya tidak melihat dia mengubah kebijakan atau memimpin Amerika dalam arah kebijakan yang baru. Dia akan menjadi utusan seperti halnya Hillary Clinton."
Yang lain berpendapat bahwa terlalu dini untuk menilai Kerry. Kolega Kerry juga punya harapan bahwa Obama akan memberi kewenangan lebih luas yang memungkinkannya mendapatkan angka atas keberhasilannya di panggung internasional. Peluang ini dinilai terbuka karena di periode kedua pemerintahannya ini Obama juga membagi tugas lebih besar kepada wakilnya, Joe Biden, yang kini menjadi penasihatnya dalam isu kontrol senjata.
Apapun, mata dunia akan tertuju pada Kerry selama perjalanan ini. "Kunjungan pertama Menteri Luar Negeri Amerika diamati dengan ketat karena ada banyak simbolisme yang menyertainya. Orang-orang mencari petunjuk tentang wilayah mana yang dianggap paling penting bagi Amerika Serikat, " kata bekas Wakil Menteri Luar Negeri AS Nicholas Burns.
CNN | dnaindia.com | Abdul Manan