TEMPO.CO, Jakarta - Pengadilan Rwanda menjatuhkan hukuman penjara 8 tahun terhadap pemimpin tertinggi kelompok oposisi, Victoire Ingabire, atas dakwaan terlibat dalam pembunuhan massal yang berlangsung 18 tahun silam. Saat itu negeri di Afrika Tengah itu dilanda kerusuhan etnis.
Ingabire kembali ke Rwanda pada 2010 setelah tinggal di luar negeri selama 16 tahun. Ia pulang untuk mengunjungi acara peringatan peristiwa pembunuhan massal di negaranya. Selain itu, kedatangannya juga guna mempertanyakan mengapa suku Hutu dihabisi dalam aksi kekerasan, sedangkan suku minoritas Tutsi tidak. Ingabire merencanakan maju dalam pemilihan presiden, namun keburu ditahan penguasa.
"Dia dijatuhi hukuman 8 tahun penjara atas dakwaan terlibat dalam berbagai tindak kejahatan," kata hakim Alice Rulisa di pengadilan, Selasa, 30 Oktober 2012.
Rulisa mengatakan, pemimpin oposisi ini dianggap bersalah karena melakukan konspirasi kejahatan, terorisme, dan perang di Rwanda yang berbuntut pada pembunuhan massal. Pengadilan menuduhnya mengobarkan pembagian etnis, ideologi genosida, membentuk kelompok bersenjata, dan melakukan aksi-aksi terorisme.
Lebih kurang 500 ribu rakyat Rwanda, mayoritas dari etnis Tutsi dan Hutu, tewas dalam sebuah aksi pembunuhan massal di Rwanda pada 1994. Dalam kerusuhan tersebut, pemerintah berusasha keras menekan agar kekerasan mematikan itu tidak melebar menjadi perang antarsuku.
Pemerintah menuduh Ingabie, perempuan yang memiliki kontak dengan FDLR, kelompok pejuang Hutu di Kongo, membentuk kelompok bersenjata. Namun, tuduhan tersebut dibantah Ingabire.
Jaksa Agung Martin Ngonga mengatakan, pernyataan Ingabire itu tidak relevan dengan kebebasan berbicara yang dianut di negaranya, melainkan dapat menyulut kerusuhan di Rwanda seperti pada 1994.
Presiden Paul Kagame memuji peran komunitas internasional dalam menjaga perdamaian di Rwanda dalam dua dekade, mendorong meningkatnya hak-hak kaum perempuan, dan membantu pertumbuhan ekonomi. Namun, hukuman yang dijatuhkan pengadilan terhadap pemimpin oposisi tak lepas dari kritik terhadap kepemimpinan Kagame pascaperistiwa genosida di Rwanda.
AL JAZEERA | CHOIRUL
Berita terkait
Emmanuel Macron Minta Maaf, Akui Prancis Terlibat Genosida Rwanda
27 Mei 2021
Presiden Prancis Emmanuel Macron mengakui Prancis terlibat dalam genosida Rwanda yang menewaskan 800.000 Tutsi dan Hutu moderat.
Baca SelengkapnyaFakta tentang Konflik Rwanda, Genosida dan Perang Saudara
17 Mei 2020
Kepolisian Paris telah menangkap pria paling dicari di Rwanda, Felicien Kabuga, seorang arsitek genosida yang menewaskan sekitar 800.000 orang.
Baca SelengkapnyaPria Eks Salesman Pepsi Cola Dinobatkan Jadi Raja Rwanda
14 Januari 2017
Pria warga Inggris yang pernah menjadi salesman Pepsi Cola ini secara mengejutkan diangkat menjadi Raja Rwanda.
Baca SelengkapnyaMinta Maaf, Gereja Katolik Akui Terlibat Genosida di Rwanda
22 November 2016
Gereja Katolik meminta maaf atas keterlibatannya melakukan genosida dalam perang saudara di Rwanda tahun 1994 yang menewaskan 800 ribu orang.
Baca SelengkapnyaBos Genosida Rwanda Ditangkap di London
23 Juni 2015
Pernah menjadi utusan pasukan perdamaian PBB.
Baca SelengkapnyaGorila Mabuk Tonjok Fotografer
9 Februari 2015
Gorila seberat 250 kilogram itu mabuk karena kebanyakan
memakan batang bambu. Fotografer jadi korban.
Rwanda Kalahkan Indonesia Soal Bersih dari Korupsi
1 November 2014
Berdasarkan Transparancy International, Rwanda berada di
peringkat 50 teratas sebagai negara yang bersih dari korupsi.
Sedangkan Indonesia di 114.
Wali Kota Rwanda Dihukum di Jerman karena Genosida
19 Februari 2014
Onesphore Rwabukombe dinilai membantu pembunuhan setidaknya 450 pria, wanita dan anak-anak di kompleks gereja Kiziguro.
Baca SelengkapnyaPanglima Perang Kongo Akhirnya Dibawa ke Den Haag
22 Maret 2013
Bosco Ntaganda, komandan pemberontak yang dijuluki "Terminator" itu, menyerahkan diri ke Kedutaan Besar AS Senin lalu.
Baca SelengkapnyaMiliter Rwanda Dituduh Siksa Warga Sipil
8 Oktober 2012
Rwanda dituding mensuplai persenjataan untuk pemberontak Kongo.
Baca Selengkapnya