Deputi Perdana Menteri Papua Nugini, Belden Namah. pngperspective.webnode.com
TEMPO.CO , Jakarta - Kepolisian Papua Nugini membubarkan sekitar 50 pengunjuk rasa di depan Kedutaan Besar Indonesia di Port Moresby. Kelompok pengunjuk rasa ini menuntut penjelasan Indonesia atas insiden wilayah udara yang melibatkan kedua negara.
Insiden ini mencuat ke publik setelah Wakil Perdana Menteri Papua Nugini Belden Namah mengancam mengusir Duta Besar Indonesia untuk Papua Nugini. Papua Nugini menilai pencegatan pesawat Falcon 900 tergolong agresi dan intimidasi. Pesawat Indonesia mencegat Falcon itu saat terbang di atas kawasan Banjarmasin, Kalimantan, pada 29 November 2011. Pesawat Papua Nugini itu mengangkut Wakil Perdana Menteri Papua Nugini Belden Namah dari Malaysia.
Dalam wawancaranya dengan Radio Australia seperti dikutip dalam radioaustralia.net.au pada 9 Januari 2011, Michael Tataki, koordinator aksi protes, meminta pemerintah Indonesia meminta maaf. "Posisi kami jelas, kami menginginkan ucapan minta maaf," kata dia.
Bagi pengunjuk rasa, aksi Indonesia merupakan bentuk intimidasi atas pemimpin Papua Nugini. Dalam aksinya dua orang bahkan merantai dirinya ke pintu gerbang kedutaan sejak pukul 06.00 pagi. "Ini adalah bentuk kefrustrasian kami," ujar Tataki.
Perantaian ini, menurut Tataki, sebagai usaha agar para pejabat mendengarkan petisi kelompok tersebut. "Berdasarkan hukum internasional kami tidak bisa memasuki wilayah teritorial kedutaan, karena itu kami menahannya dari luar," ujar Tataki.
Saat protes berlangsung, Duta Besar RI untuk Papua Nugini, Andreas Sitepu, sedang tidak berada di kantor. Polisi akhirnya mendesak kerumunan pemrotes untuk menjauh dari Kedutaan Indonesia dan sejak itu Kedutaan Indonesia dijaga ketat.
Eks Presiden PNG Somare Terlibat Pencucian Uang di Singapura
9 September 2016
Eks Presiden PNG Somare Terlibat Pencucian Uang di Singapura
Pengadilan Singapura menyatakan pendiri Papua Nugini yang juga presiden pertama PNG, Michael Somare, menerima dana pencucian uang sebesar Rp 10,2 miliar.