TEMPO Interaktif, Bishkek -Warga Kyrgyzstan hari ini berbondong mendatangi tempat-tempat pemungutan suara untuk melakukan coblosan membentuk parlemen pertama secara demokratis. Pemilu legislatif di negeri Asia Tengah itu dengan banyak harapan bisa menyatukan bangsa, empat bulan berselang setelah terjadinya prahara politik berdarah.
Uniknya, di bekas eks Soviet itu, para pemilih tak punya ide partai apa yang bakal menang mayoritas di kursi parlemen yang baru dan akan memilih seorang perdana menteri yang bakal menjadi pemimpin.
“Rakyat tak menderita amnesia. Rakyat kami tahu sejarah mereka. Mereka bakal bangkit dengan cepat membentuk sebuah republik parlementer dan melindunginya,” ujar Presiden Roza Otunbayeva setelah memberikan suaranya di sebuah sekolah musik di Ibukota Bishkek.
Setelah hampir dua dekade kegagalan penguasa otoriter, para pemimpin sementara ingin menguatkan seorang perdana menteri untuk mengembalikan stabilitas di republik mini tersebut. Juni lalu bentrokan berdarah antara etnis Kyrgyz dan Uzbeks menewaskan lebih dari 400 orang.
Pemerintah sementara Kyrgyzstan, yang tengah berjuang mengatasi kekerasan etnik dan menyiapkan polisi dan militer yang tangguh, meminta Organisasi untuk Keamanan dan Kerjasama di Eropa (OSCE) mengirimkan satuan polisi internasional. Tujuannya agar ditempatkan di negeri Asia Tengah tersebut.
Pemerintah Amerika Serikat telah mengirim Robert Blake sebagai tuusan ke Kirgistan. Ia dijadwalkan bertemu dengan para pejabat negara itu Jumat dan Sabtu mendatang.
Presiden sementara Kirgistan Roza Otunbayeva hari ini memperkirakan jumlah korban tewas berlipat ganda ketimbang angka resmi yang dilansir pihaknya saat ini. Sejauh ini, korban terbunuh akibat empat hari kerusuhan etnis itu 176 orang.