LSM Indonesia Gugat Jepang karena Fukushima, Dubes Jelaskan Alasan Tak Datangi Pengadilan
Reporter
Nabiila Azzahra
Editor
Dewi Rina Cahyani
Senin, 25 Maret 2024 19:30 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Duta Besar Jepang untuk Indonesia Masaki Yasushi mengungkap alasan pemerintah Jepang tidak menghadiri sidang pertama gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas pembuangan limbah nuklir Fukushima ke lautan terbesar di dunia.
Organisasi nonpemerintah Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) dan Ekologi Maritim Indonesia (EKOMARIN) menggugat pemerintah Jepang karena telah “menggelontorkan limbah nuklir Fukushima” ke Samudra Pasifik, menurut rilis dari kedua organisasi. Mereka berargumen bahwa tindakan tersebut dapat mencemari perairan Indonesia.
Sidang perdana gugatan tersebut ditunda hingga 17 April 2024 setelah perwakilan pemerintah Jepang mangkir pada 13 Maret 2024. Berdasarkan keterangan dari PBHI dan EKOMARIN di hari sidang pertama, “Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akan melakukan pemanggilan kepada Pemerintah Jepang melalui Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia.”
Ketika ditanya alasan absen dari persidangan, Dubes Masaki mengaku telah melihat laporan media tentang gugatan tersebut. “Tetapi sejauh ini, kami belum menerima komplain resmi apa pun,” katanya pada konferensi pers di Kedutaan Besar (Kedubes) Jepang di Jakarta Pusat, Senin, 25 Maret 2024.
Koordinator Nasional EKOMARIN Marthin Hadiwinata mengatakan bahwa memang mungkin pemanggilan dari pengadilan sebelumnya tidak sampai ke pihak Kedubes Jepang. “Kemarin hakim mengirimkan ulang ke Jepang via Kemenlu,” katanya lewat pesan singkat kepada Tempo, Senin.
Masaki mengatakan dia memahami bahwa negara-negara tetangga khawatir akan masalah ini. Cina, pada Agustus 2023 lalu, mengumumkan larangan menyeluruh terhadap semua produk akuatik dari Jepang karena khawatir akan risiko kontaminasi radioaktif.
Pemerintah Jepang menandatangani rencana pelepasan air radioaktif yang telah diolah dari pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Fukushima ke Samudra Pasifik pada 2021. Kemudian, mereka mendapat lampu hijau dari pengawas nuklir Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk melaksanakannya pada 2023.
Pelepasan itu dilakukan sebagai langkah penghentian PLTN Fukushima Daiichi setelah hancur akibat tsunami pada 2011 silam.
<!--more-->
Abdul Qohhar, Koordinator Komunikasi Publik di Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN), mengatakan penggunaan istilah “limbah nuklir” dalam hal ini kurang tepat.
Berdasarkan informasi yang diterima pihaknya dari Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA), cairan yang dilepaskan ke laut bukanlah merupakan limbah nuklir, melainkan air olahan. Air tersebut, katanya, berasal dari berbagai sumber seperti air tanah hingga air hujan yang terkontaminasi akibat kecelakaan Fukushima.
Abdul mengatakan keberadaan zat radioaktif pada air olahan tidak bisa dipungkiri, termasuk di dalam air minum atau bahan makanan yang menjadi konsumsi sehari-hari. Selain itu, meski mayoritas zat radioaktif dapat dihilangkan melalui proses lanjutan, tetap ada kandungan tritium yang tidak bisa hilang.
Meski demikian, ia menjelaskan, tiap negara telah menetapkan batasan masing-masing untuk kandungan tritium dalam air minum. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan batasan 10.000 becquerel per liter (Bq/L), sementara Jepang menetapkan 60.000 Bq/L.
Menurut IAEA, konsentrasi tritium dalam air yang diolah dengan Sistem Pemrosesan Cairan Tingkat Lanjut (ALPS) untuk menghilangkan zat radioaktif dalam air olahan Fukushima jauh di bawah batas operasional Jepang, yaitu 1.500 Bq/L.
“BAPETEN berpendapat bahwa selama air olahan yang dilepaskan ke laut tersebut memiliki kandungan radioaktif (terutama tritium) di bawah batas yang ditetapkan, maka secara ilmiah BAPETEN meyakini bahwa tidak akan ada dampak negatif di lingkungan,” kata Abdul kepada Tempo.
Namun, Abdul mengatakan perlu kajian lebih jauh tentang apakah zat radioaktif dari air olahan Fukushima berpotensi mencemari perairan Indonesia, seperti yang dikatakan PBHI dan EKOMARIN dalam gugatan mereka.
Dua organisasi tersebut menuntut agar hakim menyatakan pemerintah Jepang telah melakukan PMH atas pembuangan limbah nuklir berbahaya berbahan zat radioaktif ke perairan laut, dan bahwa Jepang dengan ini telah melanggar HAM.
NABIILA AZZAHRA A. | REUTERS
Pilihan editor: Singapura Minta Kedubes Israel Hapus Unggahan Soal Palestina, Apa Isinya?