Mengenal El Nino dan Sejarahnya, Fenomena Alam yang Buat Warga Malaysia Panic Buying Air Mineral
Reporter
Tempo.co
Editor
Naufal Ridhwan
Rabu, 24 Mei 2023 14:57 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Fenomena panic buying warga Malaysia yang terjadi belakangan ini akibat ancaman kekeringan di Negeri Jiran tersebut. Awal 2023 memang dibuka dengan gelombang panas yang melanda sebagian besar wilayah Asia, terutama Asia Selatan dan Asia Tenggara. Di Malaysia sendiri, tepatnya Negeri Sembilan, rekor suhu terpanas mencapai 38,4 derajat celcius pada 22 April lalu. Tiga hari setelah itu—25 April—tercatat setidaknya dua kematian akibat sengatan panas dan dehidrasi parah, yakni anak laki-laki berusia 11 tahun dan bayi 19 bulan di Kelantan.
Gelombang panas di Malaysia diperkirakan masih akan berlangsung sampai Juni mendatang. Menurut freemalaysiatoday.com, sejak Maret, para ahli telah mendesak pihak berwenang dan masyarakat untuk bersiap menghadapi cuaca kering yang sangat panjang. Perusahaan air disarankan segera melakukan mitigasi dan konsumen pun diimbau agar menghemat air.
Setelah Juni, suhu akan perlahan turun hingga September walaupun temperaturnya masih tetap di atas rata-rata. Kata Wakil Dirjen Departemen Meteorologi Mohd. Hisham Anip yang dilansir dari straitstime.com, curah hujan bulanan Malaysia juga diperkirakan akan berkurang 20–40 persen selama periode Juni–September di sejumlah bagian negara. Ini tentu semakin menambah rasa khawatir penduduk setempat akan kelangkaan air.<!--more-->
Apa itu El Nino?
Cuaca panas ekstrem yang sangat mengeringkan ini tidak lain dipicu oleh fenomena El Nino. Lalu, apa itu El Nino dan bagaimana sejarahnya?
Sebelumnya, gelombang panas tengah terjadi di Asia tahun ini yang memuncak pada April 2023. India menjadi negara terpanas dengan suhu mencapai 45 derajat celsius. Ada setidaknya belasan penduduk setempat yang meninggal dunia akibat suhu panas ekstrem.
Para peneliti kemudian menghubungkan gelombang panas yang terjadi dengan fenomena alam “El Nino”. Sebuah pemodelan iklim sebelumnya telah memperkirakan bahwa El Nino akan segera berdampak pada banyak negara, menyebabkan gelombang panas yang parah, hingga berujung pada kekeringan.
El Nino (ditulis sebagai El Niño) sendiri merupakan bahasa Spanyol yang berarti “Anak Kristus”. Fenomena ini mengacu pada peristiwa pemanasan permukaan laut—atau suhu permukaan laut di atas rata-rata—di tengah dan timur Samudra Pasifik tropis.
Fenomena El Nino terjadi ketika gulungan air laut hangat berkembang di bagian timur-tengah ekuator Samudra Pasifik, termasuk wilayah lepas pantai Amerika Selatan. Selama El Nino berlangsung, angin yang biasanya bertiup dari timur ke barat di sepanjang ekuator (“angin timur”) kian melemah, bahkan berbalik arah menjadi dari barat ke timur (“angin barat”). Hal itu menyebabkan air hangat ikut terdorong ke arah timur sehingga tercipta suhu permukaan laut yang lebih hangat, dilansir dari usgs.gov.
Hamparan laut yang membentang seluas 10.000 kilometer ke arah barat lepas pantai negara Ekuador akan menghangat selama berbulan-bulan, biasanya sekitar 1 sampai 2 derajat celcius. Peningkatan suhunya mungkin tampak tidak signifikan, tetapi melansir dari theconversation.com, itu lebih dari cukup untuk mengacaukan pola angin, curah hujan, dan suhu di seluruh bagian Bumi.
Lebih lanjut menurut nationalgeographic.org, El Nino terjadi secara tidak teratur dengan interval dua hingga tujuh tahun. El Nino juga bukanlah siklus yang dapat diprediksi seperti halnya pasang surut air laut. Peristiwa tersebut memiliki dampak utama pada suhu laut, kecepatan dan kekuatan arus laut, hingga kesehatan perikanan pesisir. Selain itu, El Nino dapat mengganggu pola cuaca di darat secara global.<!--more-->
Sejarah Fenomena El Nino
El Nino dahulu dikenali oleh para nelayan di lepas pantai Peru sebagai munculnya air hangat yang tidak biasa. Imigran Spanyol kemudian menyebutnya sebagai “El Niño” untuk menggambarkan perubahan iklim yang intens dan tidak teratur, lebih dari sekadar peningkatan suhu permukaan air laut.
Pada 1930-an, peneliti iklim menyatakan bahwa El Nino terjadi bersamaan dengan Osilasi Selatan (Southern Oscillation), yakni perubahan tekanan udara di atas Samudra Pasifik tropis. Ketika perairan pesisir menjadi lebih hangat di Pasifik tropis timur (El Nino), tekanan atmosfer di atas lautan berkurang. Ahli klimatologi kemudian mendefinisikan fenomena terkait peristiwa tersebut sebagai “El Niño–Southern Oscillation” (ENSO). Saat ini, para ilmuwan menggunakan istilah El Nino dan ENSO sebagai sinonim satu sama lain.
Ilmuwan menggunakan satuan Oceanic Nino Index (ONI) untuk mengukur penyimpangan dari suhu permukaan laut normal. Peristiwa El Nino ditunjukkan dengan kenaikan suhu permukaan laut lebih dari 0,5 derajat celsius selama setidaknya lima musim per tiga bulan berturut-turut.
Intensitas peristiwa El Nino bervariasi. Kenaikan suhu yang lemah (sekitar 2 derajat celsius) hanya memiliki efek lokal sedang pada cuaca dan iklim. Sementara itu, peningkatan suhu yang sangat kuat (7–10 derajat celsius) akan berdampak pada perubahan iklim di seluruh dunia.
Peristiwa El Nino yang lebih kuat juga mengganggu sirkulasi atmosfer global. Sirkulasi atmosfer global adalah pergerakan udara berskala besar yang membantu mendistribusikan energi panas ke seluruh permukaan bumi. Pergerakan sumber panas samudra dan atmosfer ke arah timur menyebabkan musim dingin yang luar biasa parah di garis lintang yang lebih tinggi di Benua Amerika. Sementara wilayah tropis semakin panas, wilayah utara Amerika mungkin mengalami musim dingin yang lebih membekukan karena El Nino.
El Nino tahun 1982–1983 dan 1997–1998 menjadi peristiwa kekacauan suhu yang paling intens selama abad ke-20. Saat El Nino 1982–1983, peningkatan suhu permukaan laut di Pasifik tropis timur mencapai 7,8–12,8 derajat celsius. Dampaknya, Australia mengalami kekeringan parah, topan terjadi di Tahiti, dan banjir melanda Chili tengah. Pantai barat Amerika Utara juga diterjang badai yang luar biasa badai selama musim dingin.
Lima belas tahun kemudian, El Nino 1997–1998 pun menjadi peristiwa El Nino pertama yang dipantau secara ilmiah dari awal hingga akhir. Kala itu, kekeringan terjadi di Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Peru mengalami hujan yang sangat lebat dan banjir bandang. Di Amerika Serikat, peningkatan curah hujan melanda California, sedangkan Midwest mengalami suhu hangat di saat seharusnya musim dingin datang.
SITA PLANASARI | SYAHDI MUHARRAM | NIA HEPPY
Pilihan Editor: Begini Kronologi dan Penyebab Panic Buying Air Mineral Kemasan di Malaysia, Akibat El Nino?