Pertikaian Politik, Irak 290 Hari Tanpa Pemerintahan
Reporter
Daniel Ahmad
Editor
Suci Sekarwati
Kamis, 28 Juli 2022 14:30 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pertikaian yang masih berlangsung di Irak antara kelompok Syiah dan kelompok Kurdi telah menjadi batu sandungan pembentukan pemerintah Irak yang baru. Silang pendapat ini juga telah menghambat reformasi di Negera 1001 malam tersebut. Pada Rabu, 27 Juli 2022, Irak menandai kebuntuan paska-pemilu terpanjang.
Lebih dari sembilan bulan sejak pemilu Oktober 2021, anggota parlemen yang ditugaskan untuk memilih presiden dan perdana menteri belum juga mencapai kesepakatan. Akibatnya Irak mencatat rekor 290 hari tanpa kepala negara atau kabinet.
Kebuntuan terpanjang di tubuh pemerintahan pernah pula terjadi pada 2010. Ketika itu, Irak selama 289 hari tanpa pemerintahan hingga akhirnya Perdana Menteri Nouri al-Maliki mendapat masa jabatan periode kedua.
Pemerintahan Perdana Menteri irak Mustafa al-Kadhimi yang akan keluar dari jabatannya, sekarang ini masih menjalankan negaranya. Jika partai-partai tidak bisa menyepakati pemerintahan baru, maka Kadhimi mungkin akan tetap menjabat sebagai juru kunci sampai pemilihan baru dapat diadakan.
Sebagai tanda potensi penundaan lebih lanjut, ribuan pendukung ulama Syiah populis, Moqtada al-Sadr, menyerbu parlemen Baghdad yang kosong pada Rabu malam, 27 Juli 2022. Mereka meneriakkan slogan-slogan melawan saingan politiknya. Serbuan itu terjadi beberapa hari setelah mereka menunjukkan kesepakatan tentang calon perdana menteri.
Kelumpuhan telah membuat Irak tanpa anggaran untuk 2022. Walhasil, pengucuran biaya pengeluaran untuk prioritas proyek-proyek infrastruktur serta reformasi ekonomi, tertunda.
Warga Irak mengatakan situasi negaranya memburuk, dimana layanan publik dan pekerjaan menjadi berkurang. Padahal, Baghdad mendulang pendapatan yang cukup bagus dari minyak setelah harga minyak mentah tinggi serta tidak ada perang besar sejak kekalahan ISIS lima tahun silam.
"Tidak ada pemerintah, jadi tidak ada anggaran, jalan-jalan tetap berlubang, listrik dan air langka dan ada layanan kesehatan dan pendidikan yang buruk," kata Mohammed Mohammed, pensiunan PNS, 68 tahun, dari kota selatan Nassiriya.
Kondisi Irak tersebut telah memicu aksi protes, di antaranya di Ibu Kota Baghdad dan wilayah selatan Irak pada 2019. Demonstran menuntut pencopotan partai-partai yang telah berkuasa sejak invasi pimpinan Amerika Serikat pada 2003, yang menggulingkan diktator Saddam Hussein. Para demonstran menuduh para politikus itu korupsi hingga merajalela dan menghentikan kemajuan Irak.
Pasukan keamanan Irak dan milisi diduga membunuh ratusan pengunjuk rasa. Mereka juga menggagalkan protes pada 2020.
Kadhimi menjabat sebagai kandidat yang mau kompromi dalam merespon demonstran. Ia berjanji menghukum pembunuh para pengunjuk rasa dan akan mengadakan pemilu dini pada 10 Oktober 2022. Sebagian besar dari mereka yang unjuk rasa, pesimis akan ada perubahan.
"Apa pun bentuk pemerintahan, itu akan terdiri dari orang-orang dan partai-partai yang membunuh teman-teman kita," kata Ali al-Khayali, aktivis anti-pemerintah yang ikut demonstrasi.
Sejak Saddam digulingkan, partai-partai syiah yang mewakili mayoritas demografis negara itu telah memegang jabatan perdana menteri, sedangkan kelompok Kurdi memegang kursi Presiden Irak. Kelompok sunni biasanya duduk sebagai ketua parlemen. Perpecahan dalam kelompok-kelompok tersebut membuat proses ini sekarang menjadi sangat lama.
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini.