Taliban Berupaya Mengisolasi Kabul
Reporter
Eka Yudha Saputra
Editor
Eka Yudha Saputra
Sabtu, 14 Agustus 2021 18:00 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Seorang pejabat pertahanan AS mengatakan ada kekhawatiran bahwa Taliban, yang digulingkan dari kekuasaan pada 2001 setelah serangan 11 September di Amerika Serikat, dapat bergerak ke Kabul dalam beberapa hari.
"Kabul saat ini tidak berada dalam situasi mengancam yang akan segera terjadi, tetapi jelas...jika Anda hanya melihat apa yang telah dilakukan Taliban, Anda dapat melihat bahwa mereka mencoba mengisolasi Kabul," kata juru bicara Pentagon John Kirby pada Jumat, dikutip dari Reuters, 14 Agustus 2021.
Beberapa kedutaan besar telah mulai membakar materi sensitif sebelum evakuasi, kata para diplomat.
Pentagon mengatakan Taliban berusaha untuk mengisolasi Kabul dengan mengambil alih penyeberangan perbatasan, jalan raya, dan jalur pendapatan, dalam perjalanannya melalui kota-kota utama Afganistan.
"Langkah tersebut tidak berbeda dengan cara mereka beroperasi di tempat lain di negara ini, mengisolasi ibu kota provinsi dan terkadang mampu memaksa penyerahan diri tanpa harus banyak pertumpahan darah," kata Kirby, dikutip dari New York Times.
"Kami tentu khawatir dengan kecepatan gerakan Taliban. Dan seperti yang telah kami katakan sejak awal bahwa ini masih merupakan momen bagi pasukan keamanan dan pertahanan nasional Afganistan, serta kepemimpinan politik mereka."
Terlepas dari kemajuan cepat Taliban dan bahaya yang akan segera terjadi di Kabul, Kirby mengatakan bahwa pertempuran yang lebih luas untuk mengamankan Afganistan akan tetap berada di tangan pasukan keamanan Afganistan.
"Mereka memiliki angkatan udara, Angkatan Udara yang mumpuni. Mereka memiliki struktur organisasi. Mereka mendapatkan manfaat dari pelatihan yang telah kami berikan kepada mereka selama 20 tahun. Mereka memiliki materi fisik yang berwujud keunggulan. Saatnya sekarang untuk menggunakan kelebihan itu," ujar Kirby.
Angkatan Udara Afganistan telah secara signifikan meningkatkan jumlah serangan udara yang dilakukan terhadap Taliban, menurut sumber diplomatik kepada CNN, dengan memusatkan serangan-serangan itu di bagian selatan negara itu.
Dalam 72 jam terakhir, Kementerian Pertahanan Afganistan mengklaim di Twitter bahwa mereka membunuh sekitar 1.000 gerilyawan Taliban di distrik-distrik di seluruh negeri, termasuk wilayah selatan.
Ketika Taliban maju dengan cepat dan diplomat serta militer Amerika pergi, banyak orang di Afganistan dibiarkan dalam keadaan gelisah, takut, dan putus asa.
Ada kekhawatiran di kalangan perempuan Afganistan, minoritas, dan mereka yang bekerja untuk pemerintah AS, karena berpotensi menghadapi penindasan dan pembalasan oleh Taliban.
Banyak orang di ibu kota menimbun beras dan makanan lain serta pertolongan pertama, kata penduduk, Reuters melaporkan. Ada puluhan ribuan permohonan visa di kedutaan besar yang masuk saat ini, kata para pejabat.
Pertempuran telah menimbulkan kekhawatiran akan krisis pengungsi dan kemunduran dalam hak asasi manusia. Sekitar 400.000 warga sipil telah dipaksa meninggalkan rumah mereka tahun ini, 250.000 di antaranya sejak Mei, kata seorang pejabat PBB.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres memperingatkan bahwa "Afganistan di luar kendali" dan mendesak semua pihak untuk berbuat lebih banyak untuk melindungi warga sipil.
"Ini adalah saat untuk menghentikan serangan. Ini adalah saat untuk memulai negosiasi serius. Ini adalah momen untuk menghindari perang saudara yang berkepanjangan, atau isolasi Afganistan," kata Guterres kepada wartawan di New York.
Wakil Presiden Pertama Afganistan Amrullah Saleh mengatakan setelah pertemuan keamanan yang dipimpin oleh Presiden Ashraf Ghani, bahwa dia bangga dengan angkatan bersenjata dan pemerintah akan melakukan semua yang bisa dilakukan untuk memperkuat perlawanan terhadap Taliban.
Dari kota-kota besar Afganistan, pemerintah masih memegang Mazar-i-Sharif di utara dan Jalalabad, dekat perbatasan Pakistan di timur, selain Kabul.
Kecepatan Taliban telah menyebabkan tudingan atas penarikan pasukan AS, yang dinegosiasikan tahun lalu di bawah pemerintahan pendahulu Presiden Joe Biden dari Partai Republik, Donald Trump.
Joe Biden mengatakan minggu ini dia tidak menyesali keputusannya untuk menindaklanjuti penarikan tersebut. Dia mencatat AS telah menghabiskan lebih dari US$1 triliun (sekitar Rp14.000 triliun) dan kehilangan ribuan tentara selama dua puluhan, dan meminta tentara dan pemimpin Afganistan untuk bangkit mempertahankan Afganistan dari Taliban.
Jajak pendapat menunjukkan sebagian besar orang Amerika mendukung keputusan Biden, tetapi Partai Republik mengkritik cara presiden Demokrat menangani penarikan AS.
Pemimpin Partai Republik di Senat Mitch McConnell menyebut situasi di Afganistan "sebuah bencana" tetapi mengatakan belum terlambat untuk menghentikan Taliban menguasai ibu kota dengan memberikan dukungan udara dan dukungan lain untuk pasukan Afganistan.
Baca juga: Taliban Makin Ganas, Bagaimana Nasib WNI di Afghanistan?
REUTERS | NEW YORK TIMES | CNN