EKSKLUSIF, Pemerintah Bayangan Myanmar Tak Ingin Demokrasi Pulih via Perang
Reporter
Non Koresponden
Editor
Istman Musaharun Pramadiba
Rabu, 16 Juni 2021 14:45 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Meski perang saudara di depan mata, Pemerintah Bayangan Myanmar (National Unity Government, NUG), menyampaikan bahwa mereka tidak ingin krisis berakhir lewat perang. Oleh karenanya, mereka tidak mendukung intervensi militer dari PBB jika memang itu direncanakan.
Menteri Kerjasama Internasional NUG, Dr. Sasa, berkata bahwa krisis di Myanmar bermula dari masalah politis. Masalah tersebut berupa kekalahan partai afiliasi militer dalam pemilu yang berlangsung tahun lalu. Oleh karenanya, menurut Dr. Sasa, lebih ideal masalah Myanmar diselesaikan di meja diplomasi dibanding medan perang.
"Kami tidak bisa membiarkan peluru menyelesaikan masalah politik walau kami mengaku terkadang pendekatan militeristik harus diambil. Masalahnya, kanal dan solusi diplomasi kian kecil sementara konflik militer makin besar," ujar Dr. Sasa ketika diwawancarai Tempo.co dan Majalah Tempo Senin pekan lalu, 7 Juni 2021.
Menurut Dr. Sasa, pendekatan militer bisa dihindari apabila komunitas internasional, terutama ASEAN, konsisten memberikan tekanan ke Militer Myanmar. Menurutnya, ada banyak cara yang bisa diambil untuk mendesak junta militer mengakhiri kekuasaannya dan memulihkan demokrasi.
Salah satu cara yang bisa dipakai adalah memiskinkan Militer Myanmar. Dr.Sasa berkata, meski negara-negara Barat sudah memberikan sanksi ke Militer Myanmar dan perusahaan-perusahaan afiliasinya, hal tersebut belum menghentikan aliran kapital mereka.
Militer Myanmar, kata ia, masih memiliki bisnis-bisnis di Asia, seperti Cina dan Thailand, di mana memberikan pemasukan jutaan dollar per bulan. Dengan modal tersebut, Myanmar tak perlu bergantung pada pemasukan dari negara-negara Barat dan tetap bisa bertahan dengan pemasukan "seadanya". Bahkan, Dr.Sasa mengatakan Militer Myanmar masih mampu melakukan belanja militer.
"Beberapa pekan lalu, salah satu pejabat militer Myanmar pergi ke Rusia untuk mencari helikopter. Ia ingin membeli helikopter, untuk membunuh warga Myanmar. Uang di tangannya berasal dari pemasukan-pemasukan perusahaan."
"Kita bisa memberikan dampak maksimum ke junta tanpa kekerasan. Vietnam, misalnya, cukup mengatakan tidak bisa lagi menjalankan bisnis di Myanmar karena situasi di sana tak lagi mormal," ujar Dr. Sasa.
Ditanyai apakah pernyataannya berarti NUG siap bernegosiasi dengan militer Myanmar, Dr. Sasa menegaskan pihaknya terbuka untuk itu. Namun, situasi perlu reda dulu di Myanmar. Dengan Militer Myanmar tidak menunjukkan komitmen mengakhiri kekerasan seperti disebut dalam konsensus ASEAN, Dr. Sasa tidak bisa memprediksi kapan negosiasi akan terjadi.
"Berbicara dengan pembunuh, yang melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap warga Myanmar, adalah mustahil untuk saat ini. Mereka harus menghentikan seluruh kekerasan dulu. Sederhana saja," ujar Dr. Sasa menjelaskan.
Per berita ini ditulis, hampir 900 orang terbunuh oleh junta militer selama krisis Myanmar berlangsung. Selain itu, ada juga 6000 perempuan dan pria yang dipenjara sebagai tahanan politik tanpa alasan yang jelas.
Baca juga: EKSKLUSIF, Anggota Pemerintah Bayangan Bertahan di Myanmar Meski Menjadi Buron
ISTMAN MP