Tim Pencari Fakta Sebut 250.000 Anak-anak Selandia Baru Alami Pelecehan Seksual
Reporter
Non Koresponden
Editor
Eka Yudha Saputra
Rabu, 16 Desember 2020 17:00 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Sebuah penyelidikan publik pada Rabu mengungkapkan seperempat juta anak-anak, remaja, dan orang dewasa rentan mengalami pelecehan seksual dan penyiksaan di lembaga perawatan negara dan berbasis keagamaan di Selandia Baru dari tahun 1960 hingga 2000.
Sebuah laporan sementara oleh Komisi Penyelidikan Kerajaan, tim pencari fakta yang dibentuk untuk menyelidiki kasus ini, menemukan anak-anak, beberapa dari usia sembilan bulan, menderita pelecehan selama bertahun-tahun, termasuk pemerkosaan dan siksaan dengan disetrum oleh staf di fasilitas psikiatri dan perawatan negara, pendeta, dan orang tua asuh.
Dikutip dari Reuters, 16 Desember 2020, laporan tersebut memperkirakan bahwa hingga 256.000 orang dilecehkan dan disiksa, terhitung hampir 40% dari 655.000 orang yang dirawat selama periode tersebut, dengan sebagian besar pelecehan terjadi pada tahun 1970-an dan 1980-an.
"Kepedihan dan penderitaan yang telah terjadi dalam sejarah Selandia Baru tidak bisa dimaafkan," kata Menteri Pelayanan Publik Selandia Baru Chris Hipkins.
"Semua anak yang berada dalam pengawasan negara harus aman dari bahaya, tetapi seperti yang sering dinyatakan dalam kesaksian, yang terjadi justru sebaliknya," papar Hipkins.
Laporan tersebut mengatakan sebagian besar korban pelecehan berusia antara 5 dan 17. Sebagian besar mengalami pelecehan selama periode lima sampai 10 tahun.
Pelecehan itu termasuk penyerangan fisik dan pelecehan seksual, dengan staf di beberapa institusi psikiatri memaksa pasien pria untuk memperkosa pasien perempuan. Ini juga termasuk penggunaan prosedur medis yang tidak tepat termasuk sengatan listrik pada alat kelamin dan kaki, penggeledahan tanpa busana dan pemeriksaan vagina yang tidak tepat, dan pelecehan verbal serta penghinaan rasial.
"Kadang-kadang saya mendapat siksaan disetrum dua kali sehari," kata Anne, yang pada usia 17 tahun ditempatkan di sebuah institusi psikiatri pada tahun 1979.
"Catatan (mengatakan) saya menjadi buta, kemudian mereka memberi saya perawatan dengan sengatan listrik lagi malam itu," katanya dalam penyelidikan.
Perdana Menteri Jacinda Ardern meluncurkan penyelidikan Komisi Kerajaan pada tahun 2018 yang mengatakan bahwa Selandia Baru perlu mengungkap tabir gelap dalam sejarahnya, dan kemudian memperluasnya dengan memasukkan gereja dan lembaga berbasis agama lainnya dalam penyelidikan.
Laporan itu mengatakan kemungkinan anak-anak dan remaja disiksa di rumah perawatan berbasis agama berkisar dari 21% hingga 42%.
"Pada penilaian apa pun, ini adalah masalah sosial yang serius dan berkepanjangan yang perlu ditangani," kata laporan itu, menambahkan ada bukti bahwa pelecehan berlanjut hingga hari ini.
Komisi Kerajaan akan membuat rekomendasi kepada pemerintah dalam laporan akhirnya. Ini adalah salah satu komisi penyelidikan terpanjang dan paling kompleks yang dilakukan di Selandia Baru.
Laporan sementara pada hari Rabu muncul setelah sidang kompensasi pribadi dan publik di mana para penyintas dengan berani menceritakan kisah mengerikan tentang pelecehan fisik dan seksual.
Salah satu orang Maori yang selamat, Peter, mengatakan dalam penyelidikan bahwa dia sengaja mengendarai mobil ke tebing dalam upaya bunuh diri untuk menghindari pelecehan.
"Saya tidak ingin hidup lagi. Saya pergi ke atas tebing dan langsung menghantam jurang. Sekali lagi," katanya.
Para penyintas pelecehan mengatakan bahwa kerahasiaan dan pembungkaman menyembunyikan pelecehan tersebut dari dunia luar. Laporan tersebut mengatakan banyak orang yang selamat sekarang menderita masalah kesehatan mental, seperti gangguan stres pascatrauma dan depresi, serta menderita penyalahgunaan narkoba.
Gereja Katolik di Aotearoa Selandia Baru mengatakan akan mempelajari laporan tersebut untuk melihat bagaimana menangani keluhan dan mencegah pelecehan.
"Kami sangat menyesal atas kerugian yang disebabkan oleh pelecehan yang mereka derita, dan kami terus mengungkapkan kesedihan kami yang sangat dalam," kata Uskup Agung Kardinal Wellington John Dew.
Laporan tersebut mengklaim bahwa anak-anak Maori mungkin yang paling menderita, karena 81% dari anak-anak yang dilecehkan dalam penitipan adalah Mori, sementara 69% anak-anak yang dirawat adalah Maori.
Dikatakan beberapa lembaga berbasis agama berusaha untuk "membersihkan" identitas budaya orang Maori dalam perawatan melalui pelecehan seksual dan fisik.
Ribuan orang Maori melakukan protes di seluruh Selandia Baru tahun lalu, menyerukan diakhirinya praktik mengambil anak-anak berisiko jauh dari keluarga dan menempatkan mereka dalam perawatan negara.
Para penentang praktik tersebut mengatakan bahwa proses tersebut secara rasial condong ke arah suku Maori, dan merupakan warisan penjajahan.
Hipkins mengatakan pemerintah Selandia Baru akan membuat keputusan tentang permintaan maaf setelah Komisi menyerahkan laporan akhirnya.
Negara tetangga Australia menyampaikan permintaan maaf nasional pada tahun 2017, setelah penyelidikan lima tahun terhadap pelecehan seksual terhadap anak-anak mengungkapkan ribuan kasus pelecehan seksual yang sebagian besar dilakukan di lembaga-lembaga agama dan yang dikelola negara.
Sumber:
https://uk.reuters.com/article/uk-newzealand-abuse/new-zealand-child-abuse-inquiry-finds-quarter-of-a-million-harmed-in-state-and-faith-based-care-idUKKBN28Q0B7