Presiden Prancis Emmanuel Macron menyaksikan kerusakan bangunan di lokasi ledakan di pelabuhan Beirut, Lebanon, Kamis, 6 Agustus 2020. Akibat ledakan yang dirasakan hingga belasan kilometer ini, sekitar 300.000 orang terpaksa mengungsi karena rumahnya rusak. Thibault Camus Pool via REUTERS
TEMPO.CO, Jakarta - Warga mendesak Pemerintahan Lebanon direformasi paska insiden ledakan di Beirut. Mereka menganggap ledakan Beirut sebagai puncak dari buruknya kinerja Pemerintah Lebanon selama ini.
"Kami menginginkan kejatuhan rezim. Michel Aoun adalah teroris, tolong kami," ujar warga ketika Presiden Prancis, Emmanuel Macron, berkunjung ke Beirut untuk melihat penanganan paska ledakan, Kamis, 6 Agustus 2020.
Sebelum ledakan di Beirut terjadi, Lebanon sendiri sudah dalam kondisi yang kritis. Mereka mengalami krisis ekonomi terburuk sejak perang sipil yang berakhir pada 1990. Indikatornya beragam mulai dari pemecatan besar-besaran, minimnya cadangan bahan bakar, nilai tukar yang rendah, hingga harga pangan yang melonjak.
Pemerintahan baru yang terbentuk pada 2020, awalnya, diwarna dengan optimisme. Namun, perlahan optimisme itu pudar karena kabinet baru didukung oleh koalisi sektarian. Salah satunya kelompok militer Hezbollah.
Koalisi sektarian di Lebanon memang bermasalah. Beberapa figurnya terlibat berbagai perkara mismanajemen dan korupsi. Alhasil, bukannya Lebanon membaik, kondisinya memburuk.
Ledakan di Beirut memperburuk situasi dan citra pemerintah Lebanon. Apalagi, ledakan berasal dari kelalaian pejabat pelabuhan soal penyimpanan 2750 ammonium nitrat di pelabuhan. Tak ayal warga semakin marah dan mendesak pemerintah berbenah. Mereka bahkan pesimis penyebab ledakan akan sepenuhnya terungkap.
"Menyimpan nitrat tersebut dalam waktu yang lama saja sudah bermasalah dan tidak akuntabel," ujar pakar ekonomi dari American University di Beirut, Jad Chaaban.
Tidak hanya publik yang pesimis penyebab ledakan akan terang benderang, namun juga pejabat pemerintah sendiri. Bahkan beberapa memutuskan untuk mundur dari jabatan sebagai bentuk protes, salah satunya Duta Besar Lebanon di Yordan, Tracy Chamoun.
"Saya tidak bisa lagi mewakili Pemerintah Lebanon. Sekarang, apa yang bisa dilakukan yang berkuasa (sebagai bentuk pertanggungjawaban) adalah mundur," ujar Tracy Chamoun.