Virus Corona, Larangan Trump Pendatang Masuk AS Jadi Pro-Kontra

Jumat, 13 Maret 2020 14:30 WIB

Para pelancong atau pendatang gelisah dengan kebijakan baru Presiden Donald Trump yang melarang mereka yang baru dari 25 negara di Eropa masuk ke Amerika Serikat. Kebijakan ini untuk menekan penyebaran virus corona. Sumber: Reuters

TEMPO.CO, Jakarta - Naiknya jumlah pasien virus corona atau COVID-19 di Amerika Serikat (AS) telah mendesak Presiden Donald Trump mengeluarkan kebijakan melarang para pelancong atau pendatang dari wilayah Eropa masuk ke Amerika Serikat. Kebijakan ini berlaku hingga beberapa pekan ke depan.

Keputusan Trump itu langsung menuai kritik dari warga Amerika yang sedang berada di Eropa.

Warga resah setelah Presiden Trump menerapkan kebijakan larangan masuk bagi pelancong atau pendatang yang baru tiba dari 25 negara di Eropa demi menekan virus corona. Sumber: Reuters

Jay Harrison, warga Amerika asal Atlanta, mengaku kecewa atas kebijakan Trump itu. Harrison yang sedang pelesiran waswas tak bisa pulang. Jika larangan itu berlaku selama 30 hari, maka itu pada akhirnya akan menyulitkannya dan memakan biaya yang sangat mahal.

Trump melarang masuk para pelancong atau pendatang dari 25 negara Eropa memasuki wilayah Negara Paman Sam selama 30 hari yang mulai Jumat, 13 Maret 2020. Namun aturan itu tidak berlaku bagi turis asal Inggris, Irlandia, dan warga Amerika sendiri.

Advertising
Advertising

Menurut Trump, dia harus mengambil langkah tegas seperti ini karena Uni Eropa dinilai gagal dalam menangkal virus corona. Banyak pendatang atau masyarakat yang menilai keputusan Trump itu tidak masuk akal.

"Ini benar-benar tidak masuk akal, kenapa melarang masuk Amerika padahal virus sudah menyebar di sana?," kata Leo Morta yang baru saja tiba di Paris, Prancis setelah terbang dari Los Angeles, Amerika Serikat.

Kebijakan Trump ini tidak melulu dihujani kritik. Paola Mesa, warga asal Barcelona, Spanyol, mendukung penuh keputusan Trump. Ia malah menyayangkan Spanyol yang tak menerapkan larangan perjalanan ke negaranya hingga 3 ribu kasus virus corona terdeteksi.

Kebijakan Presiden Trump ini juga telah berdampak pada sektor ekonomi, khusus sejumlah perusahaan penerbangan yang amat terpukul. Norwegian Air terpaksa menangguhkan sekitar 4 ribu penerbangan dan memulangkan sebagian pegawainya setelah saham mereka anjlok sebesar 22 persen pada Selasa, 10 Maret 2020.

"Aturan baru ini telah menyulitkan keadaan ekonomi. Kami mendesak pemerintah internasional segera mengambil tindakan untuk mengatasi kemerosotan ekonomi ini," kata CEO, Norwegian Air, Jacob Schram.

Sedangkan Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) mengatakan perusahaan penerbangan saat ini membutuhkan langkah-langkah darurat untuk melewati krisis (virus corona) ini, mendesak pemerintah untuk mengurangi biaya infrastruktur dan mengurangi pajak.

SAFIRA ANDINI | REUTERS

Berita terkait

Top 3 Dunia: Jusuf Kalla Bertemu Hamas Hingga AS-Israel Diduga Langgar Hukum Internasional

2 jam lalu

Top 3 Dunia: Jusuf Kalla Bertemu Hamas Hingga AS-Israel Diduga Langgar Hukum Internasional

Berita Top 3 Dunia pada Selasa 7 Mei 2024 diawali oleh kabar Ketua Umum PMI Jusuf Kalla meminta kelompok Palestina Hamas untuk bersatu dengan Fatah

Baca Selengkapnya

Polisi New York Tangkap Demonstran Pro-Palestina di Dekat Acara Met Gala

10 jam lalu

Polisi New York Tangkap Demonstran Pro-Palestina di Dekat Acara Met Gala

Pengunjuk rasa pro-Palestina mengadakan protes di sekitar acara mode bergengsi Met Gala di Museum Seni Metropolitan, New York.

Baca Selengkapnya

Bintang Film Dewasa Stormy Daniels Dijadwalkan Bersaksi dalam Sidang Donald Trump

11 jam lalu

Bintang Film Dewasa Stormy Daniels Dijadwalkan Bersaksi dalam Sidang Donald Trump

Stormy Daniels, bintang film dewasa yang menjadi pusat persidangan uang tutup mulut mantan presiden Donald Trump, akan bersaksi

Baca Selengkapnya

Tragedi Penembakan di Pesta Remaja Buffalo AS Tewaskan Seorang Remaja Putri dan Lukai 5 Lainnya

12 jam lalu

Tragedi Penembakan di Pesta Remaja Buffalo AS Tewaskan Seorang Remaja Putri dan Lukai 5 Lainnya

Lagi-lagi terjadi penembakan di Amerika Serikat, kali ini terjadi di Buffalo yang menewaskan seorang remaja putri dan melukai lima orang lainnya.

Baca Selengkapnya

Jumlah Kematian Akibat Senjata Api di Amerika Serikat Capai Rekor Tertinggi

12 jam lalu

Jumlah Kematian Akibat Senjata Api di Amerika Serikat Capai Rekor Tertinggi

Amerika Serikat tengah menjadi sorotan pasca-penembakan terbaru di Buffalo dan legalisasi senjata api di Tennessee. Bagaimana fakta-faktanya?

Baca Selengkapnya

12 Senator AS Ancam Sanksi Pejabat ICC dan Anggota Keluarga Jika Perintahkan Tangkap Netanyahu

13 jam lalu

12 Senator AS Ancam Sanksi Pejabat ICC dan Anggota Keluarga Jika Perintahkan Tangkap Netanyahu

12 senator AS mengancam akan menjatuhkan sanksi terhadap ICC jika menerbitkan perintah penangkapan terhadap perdana menteri Israel Benjamin Netanyahu.

Baca Selengkapnya

Jika Lolos Olimpiade Paris 2024, Timnas Indonesia Satu Grup dengan Prancis, AS, dan Selandia Baru

14 jam lalu

Jika Lolos Olimpiade Paris 2024, Timnas Indonesia Satu Grup dengan Prancis, AS, dan Selandia Baru

Timnas Indonesia akan satu grup dengan tuan rumah Prancis, Amerika Serikat, dan Selandia Baru bila lolos Olimpiade Paris 2024.

Baca Selengkapnya

Militer Israel Ambil Kendali Penyeberangan Rafah dari Gaza ke Mesir

14 jam lalu

Militer Israel Ambil Kendali Penyeberangan Rafah dari Gaza ke Mesir

Militer Israel mengambil kendali atas perbatasan Rafah antara Gaza dan Mesir

Baca Selengkapnya

Belgia akan Dukung Resolusi Pengakuan Palestina Jadi Anggota Penuh PBB

15 jam lalu

Belgia akan Dukung Resolusi Pengakuan Palestina Jadi Anggota Penuh PBB

Menlu Belgia Hadja Lahbib mengatakan negaranya akan mendukung resolusi yang mengakui Palestina sebagai anggota penuh PBB

Baca Selengkapnya

Sekelompok Hakim AS Konservatif Tolak Pekerjakan Lulusan Universitas Columbia Pro-Palestina

15 jam lalu

Sekelompok Hakim AS Konservatif Tolak Pekerjakan Lulusan Universitas Columbia Pro-Palestina

Tiga belas orang hakim federal konservatif di AS memboikot lulusan Universitas Columbia karena protes pro-Palestina.

Baca Selengkapnya