Gerakan Pro Demokrasi Hong Kong Lawan Pemerintah Pro Cina
Rabu, 7 Agustus 2019 09:01 WIB
TEMPO.CO, Hong Kong – Tiga orang pengunjuk rasa muda pro-Demokrasi di Hong Kong menggelar jumpa pers, yang belum pernah dilakukan sebelumnya.
Mereka menuntut pemberlakuan sistem demokrasi, kebebasan, dan kesetaraan sambil mengecam sikap pemerintah Hong Kong, yang dianggap pro Cina.
“Kami menyerukan pemerintah untuk mengembalikan kekuasaan kepada rakyat dan merespon tuntutan warga Hong Kong,” kata ketiganya saat membacakan tuntutan ini dalam bahasa Inggris dan Kanton seperti dilansir Channel News Asia pada Selasa, 6 Agustus 2019.
Ketiganya terdiri dari dua orang lelaki dan seorang perempuan. Mereka mengenakan penutup wajah dengan menyebut jumpa pers itu sebagai “Oleh Rakyat, Untuk Rakyat”.
“Membangun demokrasi, kebebasan dan kesetaraan merupakan hak setiap warga yang tidak bisa diabaikan. Maka, kami menyerukan kepada pemerintah untuk tidak menghancurkan hak kami mengejar nilai-nilai universal ini,” kata mereka.
Ini merupakan pertama kalinya gerakan pro-Demokrasi di Hong Kong menggelar jumpa pers dan menyampaikan sikapnya secara resmi.
“Acara jumpa pers ini bertujuan untuk mengimbangi monopoli pemerintah terhadap wacana politik yang berkembang saat ini,” kata mereka sambil menegaskan mereka tidak terafiliasi dengan kelompok politik manapun.
Jumpa pers ini digelar sehari setelah terjadi unjuk rasa massal yang melumpuhkan jalur transportasi darat dan kereta api pada Senin. Sejumlah pengunjuk rasa juga terlibat bentrok dengan polisi Hong Kong, yang menembakkan gas air mata.
“Pemerintahan Hong Kong saat ini harus bertanggung jawab atas protes publik tapi mereka memilih untuk bersikap tidak bertanggung jawab,” kata salah satu perwakilan pengunjuk rasa dalam bahasa Inggris.
“Perilaku memalukan itu sudah seharusnya dikecam,” kata dia.
Ketiganya juga mengecam tindakan keras polisi di Hong Kong dan menyebutnya telah kehilangan disiplin. “Mereka tidak mampu melakukan tugasnya menegakkan hukum,” kata mereka.
Seperti dilansir Reuters, Cina dan Hong Kong menganut sistem satu negara dua sistem setelah Inggris menyerahkan wilayah semi-otonom itu ke Beijing pada 1997. Inggris menguasai Hong Kong selama 99 tahun setelah memenangi Perang Opium.
Warga berunjuk rasa menolak upaya amandemen legislasi ekstradisi, yang diajukan pemerintah Hong Kong dan dibahas di Dewan Legislatif di sana. Warga merasa khawatir akan diekstradisi ke Cina jika dianggap melanggar hukum di sana. Ini karena sistem hukum Cina yang dinilai tidak transparan dan tidak menjunjung HAM.