Protes Kelapa Sawit, Indonesia dan Malaysia Datangi Uni Eropa
Reporter
Non Koresponden
Editor
Suci Sekarwati
Selasa, 9 April 2019 05:27 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution bersama Sekjen Kementerian Industri Malaysia Tan Yew Chong mengajukan secara langsung protes keras kepada Uni Eropa atas tindakan organisasi itu yang dinilai mengisolasi industri kelapa sawit kedua negara.
Protes langsung disampaikan Darmin dan Tan dengan menemui parlemen Uni Eropa di ibu kota Brussels, Belgia pada Senin, 8 April 2019, setelah sebelumnya melayangkan surat keberatan kepada organisasi itu. Kedatangan Darmin dan Tan juga sebagai tindak lanjut keputusan Indonesia dan Malaysia untuk bersama melawan regulasi penerapan perintah energi terbarukan Uni Eropa II atau Delegated Act.
Pertemuan Darmin dan Tan dengan parlemen Uni Eropa dikoordinir oleh Kedutaan Besar Indonesia di Brussels, Belgia. Pertemuan dalam bentuk dialog ini untuk menyatukan perbedaan pandangan mengenai masalah kelapa sawit atau CPO.
Menurut Darmin, industri minyak kelapa sawit telah mendorong perekonomian Indonesia, menekan inflasi dan menciptakan tenaga kerja. Saat ini ada sekitar 5 juta pekerja yang mencari nafkah di sektor ini.
"Pemerintah Indonesia sudah melakukan langkah-langkah penting pengelolaan kelapa sawit. Diskriminasi ini memperlihatkan pengabaian terhadap upaya kami. Kami ingin memberantas kemiskinan di wilayah pinggir. Ada sekitar 19 juta petani kelapa sawit dan keluarganya yang akan terkena dampak akibat diskriminasi ini," kata Darmin, Senin, 8 April 2019 di Brussels, Belgia.
Baca: Uni Eropa Tolak Kelapa Sawit, Bagaimana dengan Swedia?
Baca: Studi IUCN: Kelapa Sawit Lebih Efisien dalam Penggunaan Lahan
Sebelumnya pada Februari lalu, Komisi Eropa mengumumkan rencana membatasi penggunaan tanaman biofuel proses penanamannya melakukan penggundulan hutan, diantaranya kelapa sawit. Langkah ini pukulan bagi Indonesia dan Malaysia yang merupakan produsen minyak kelapa sawit dunia. Indonesia dan Malaysia diperkirakan memasok 85 persen kebutuhan minyak kelapa sawit dunia.
Melalui rencana ini, maka Uni Eropa akan menentukan bahan bakar apa yang akan menjadi target energi terbarukan mereka. Biofuels secara tidak langsung mengarah pada perubahan penggunaan lahan dan emisi gas rumah kaca yang lebih tinggi akan dikeluarkan pada 2023.
Dalam pernyataannya, Darmin mengatakan Uni Eropa telah mengirimkan sinyal menggunakan lingkungan untuk hambat kelapa sawit Indonesia. Tindakan diskriminasi terhadap kepala sawit ini akan berdampak pada jutaan orang, khususnya mereka yang bekerja di industri ini. Untuk itu, Indonesia dan Malaysia ingin ada dialog konstruktif dengan Uni Eropa untuk kesinambungan industri kelapa sawit.