Polisi Kamboja Tangkap Guru SD Karena Hina Raja
Reporter
Eka Yudha Saputra
Editor
Maria Rita Hasugian
Senin, 14 Mei 2018 13:10 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Polisi Kamboja menahan seorang guru sekolah dasar berusia 50 tahun karena dituduh menghina raja. Ini merupakan penahanan pertama di bawah undang-undang lèse-majesté yang berisi pasal penghinaan kerajaan.
Kepolisian provinsi Kampong Thom menangkap Kheang Navy, seorang guru sekolah dasar berusia 50 tahun, karena komentar Facebook-nya yang diduga menuduh raja Kamboja dan anggota keluarga kerajaan lainnya berkolusi dengan pemerintah untuk melarang Partai Penyelamatan Nasional Kamboja (CNRP), partai politik oposisi utama, seperti dikutip Reuters, 14 Mei 2018.
Baca: Akhir The Phnom Penh Post, Bencana bagi Kebebasan Pers Kamboja
Di bawah undang-undang, yang disahkan pada Februari lalu, dia terancam satu hingga lima tahun penjara dan denda hingga US$ 2500 atau 34 juta rupiah (kurs Rp. 13.991).
"Dia menulis komentar pada 12 Mei pagi hari dan kami menangkapnya pada pukul 5 sore," ujar Nhem Chunly, Kepala Kepolisian Distrik Stung Sen.
Undang-undang yang dikecam oleh PBB dan puluhan kelompok hak asasi manusia, yang memperbolehkan jaksa untuk mengajukan tuntutan terhadap siapa pun yang diduga menghina anggota keluarga kerajaan.
Penangkapan ini menandai penangkapan pertama sejak undang-undang ini mulai diberlakukan pada 5 Maret. Klausul dalam lèse-majesté berdasarkan pasal 437 menyebut segala penghinaan baik berupa kata, gestur, tulisan, gambar, dan media apapun, terhadap raja dan keluarganya, akan dikenakan penjara maksimal lima tahun dan denda US$ 2500 atau sekitar 34 juta rupiah.
"Ketentuan lèse-majesté tidak sesuai dengan kewajiban Kamboja di bawah hukum hak asasi manusia internasional, karena mereka mengkriminalisasi pelaksanaan kebebasan berbicara yang sah," kata Rhona Smith, Pelapor Khusus PBB untuk hak asasi manusia di Kamboja dan David Kaye, Pelapor Khusus PBB untuk kebebasan berpendapat.
Baca: Bertemu Senat, Raja Kamboja: Lindungi Keadilan dan HAM Rakyat
Mahkamah Agung Kamboja membubarkan CNRP pada bulan November, dan keputusan ini disebut kelompok hak asasi manusia sebagai lonceng kematian bagi demokrasi di negara tersebut. Partai Rakyat Kamboja (CPP) yang dipimpin oleh Perdana Menteri Hun Sen diperkirakan akan mendominasi pemilihan nasional pada 29 Juli mendatang.
Baca: Indonesia Diharapkan Bantu Atasi Demokrasi Lumpuh di Kamboja
Negara tetangga Thailand juga menggunakan undang-undang serupa untuk menghapus perbedaan politik, dan kelompok-kelompok hak asasi manusia khawatir bahwa hal yang sama bisa terjadi di Kamboja.
Di Thailand, lebih dari 100 kasus lèse-majesté telah diajukan sejak junta militer, yang dipimpin oleh Jenderal Prayuth Chan-ocha, mengambil alih kekuasaan dalam kudeta 2014. Mereka yang diadili rata-rata divonis 15 tahun penjara