Tembaki Jemaat Charleston, Pelaku Mengumbar Caci Maki  

Reporter

Jumat, 19 Juni 2015 11:04 WIB

Pelaku penembakan gereja di Charleston, Dylann Storm Roof (tengah) dibawa petugas kepolisian Shelby di North Carolina, 18 Juni 2015. AP/Ben Earp

TEMPO.CO, Charleston - Kepala Kepolisian wilayah Charleston, Carolina Selatan, Greg Mullen, mengatakan aksi penembakan yang dilakukan Dylann Roof bermotif kebencian. Sebelum melepaskan tembakan, saksi berujar Roof melontarkan kalimat penuh kebencian terhadap orang kulit hitam.

Salah satu kerabat dari korban yang selamat, Kristen Washington, menjelaskan pelaku berteriak kepada para jemaat kalau orang kulit hitam telah menguasai wilayah Charleston dan memperkosa para wanita.

"Sepupu saya (Tywanza Sanders) mencoba untuk menenangkan dan mencegah aksi pelaku," kata Washington, seperti dikutip New York Times, Jumat, 19 Juni 2015. Sanders merupakan satu dari sembilan korban yang tewas. Namun upayanya menemui jalan buntu.

Keterangan Washington dibenarkan oleh Sylvia Johnson yang mendapat penjelasan dari korban selamat lainnya. Sylvia merupakan sepupu dari Clementa Pinckney, seorang pastor yang meninggal di insiden itu. "Kalian telah menguasai wilayah ini dan harus pergi," kata Sylvia mengulangi perkataan saksi.

Dari rekaman kamera, Roof memasuki gereja sekitar pukul delapan malam. Mengenakan kaos lengan panjang berwarna kelabu, ia membawa tas berwarna cokelat. Roof tidak langsung melepaskan tembakan. Selama satu jam ia duduk di sebelah Pinckney dan mendengarkan ceramah. Pelaku sempat berdebat dengan jemaat karena merasa tidak setuju dengan isi ceramah.

Tak berapa lama, pemuda berusia 21 tahun itu berdiri sambil menodongkan senjata ke para jemaat. Roof lalu memuntahkan peluru ke sembilan orang. Menurut saksi yang selamat, pelaku sengaja tidak menghabisi semua korban agar bisa menceritakan peristiwa itu kepada orang lain.

Enam orang perempuan tewas seketika dan tiga lainnya mengalami kritis sebelum mengembuskan nafas terakhir. Korban yang tewas terdiri dari manajer perpustakaan, mantan pegawai administrasi, terapis, dan pendeta.

Presiden Amerika Serikat Barack Obama merasakan kepedihan yang mendalam atas penembakan itu. Obama mengenal dekat salah satu korban, yaitu pastor Reverend Clementa Pinckney.

Ia mengatakan tewasnya sembilan orang dalam peristiwa itu telah mengancam demokrasi dan cita-cita warga Amerika. "Ini bukan kali pertama serangan seperti ini terjadi. Kita tahu kebencian terhadap ras tertentu akan menimbulkan ancaman tertentu bagi demokrasi negara," ucap Obama, Kamis, 18 Juni 2015 waktu setempat.

NEW YORK TIMES | ADITYA BUDIMAN

Berita terkait

Indonesia Sumbang 1,09 Persen Kasus Covid-19 Dunia

7 Februari 2021

Indonesia Sumbang 1,09 Persen Kasus Covid-19 Dunia

Indonesia saat ini menempati urutan ke-19 kasus sebaran Covid-19 dari 192 negara.

Baca Selengkapnya

Orient Riwu Kore Mengaku Ikut Pilkada Sabu Raijua karena Amanat Orang Tua

6 Februari 2021

Orient Riwu Kore Mengaku Ikut Pilkada Sabu Raijua karena Amanat Orang Tua

Bupati Sabu Raijua terpilih, Orient Riwu Kore, mengungkapkan alasannya mengikuti pemilihan kepala daerah 2020

Baca Selengkapnya

Tidak Lagi Jadi Presiden, Pemakzulan Donald Trump Tak Cukup Kuat

4 Februari 2021

Tidak Lagi Jadi Presiden, Pemakzulan Donald Trump Tak Cukup Kuat

Tim pengacara Donald Trump berkeras Senat tak cukup kuat punya otoritas untuk memakzulkan Trump karena dia sudah meninggalkan jabatan itu.

Baca Selengkapnya

Keluarga Korban Sriwijaya Air SJ 182 Diminta Tak Teken Release And Discharge

3 Februari 2021

Keluarga Korban Sriwijaya Air SJ 182 Diminta Tak Teken Release And Discharge

Pengacara keluarga korban Lion Air JT 610 meminta ahli waris korban Sriwijaya Air SJ 182 tidak meneken dokumen release and discharge atau R&D.

Baca Selengkapnya

Krisis Semikonduktor, Senator Amerika Desak Gedung Putih Turun Tangan

3 Februari 2021

Krisis Semikonduktor, Senator Amerika Desak Gedung Putih Turun Tangan

Pada 2019 grup otomotif menyumbang sekitar sepersepuluh dari pasar semikonduktor senilai 429 miliar dolar Amerika Serikat.

Baca Selengkapnya

Amerika Serikat Longgarkan Aturan soal Imigran Suriah

30 Januari 2021

Amerika Serikat Longgarkan Aturan soal Imigran Suriah

Imigran dari Suriah mendapat kelonggaran aturan sehingga mereka bisa tinggal di Amerika Serikat dengan aman sampai September 2022.

Baca Selengkapnya

Tutorial Membuat Bom Ditemukan di Rumah Pelaku Kerusuhan US Capitol

30 Januari 2021

Tutorial Membuat Bom Ditemukan di Rumah Pelaku Kerusuhan US Capitol

Tutorial pembuatan bom ditemukan di rumah anggota kelompok ekstremis Proud Boys, Dominic Pezzola, yang didakwa terlibat dalam kerusuhan US Capitol

Baca Selengkapnya

Amerika Serikat Kecam Pembebasan Pembunuh Jurnalis Oleh Pakistan

29 Januari 2021

Amerika Serikat Kecam Pembebasan Pembunuh Jurnalis Oleh Pakistan

Pemerintah Amerika Serikat mengecam pembebasan pembunuh jurnalis Wall Street, Journal Daniel Pearl, oleh Mahkamah Agung Pakistan.

Baca Selengkapnya

Amerika Serikat Izinkan Pensiunan Dokter Lakukan Vaksinasi Covid-19

29 Januari 2021

Amerika Serikat Izinkan Pensiunan Dokter Lakukan Vaksinasi Covid-19

Pemerintah Amerika Serikat kini mengizinkan dokter dan perawat yang sudah pensiun untuk memberikan suntikan vaksin Covid-19

Baca Selengkapnya

Jenderal Israel Minta Joe Biden Tidak Bawa AS Kembali Ke Perjanjian Nuklir Iran

27 Januari 2021

Jenderal Israel Minta Joe Biden Tidak Bawa AS Kembali Ke Perjanjian Nuklir Iran

Kepala Staf Pasukan Pertahanan Israel (IDF) Letnan Jenderal Aviv Kochavi mengatakan hal yang salah jika AS kembali ke perjanjian nuklir Iran

Baca Selengkapnya