Ditolak 2 Negara ASEAN, Nasib Rohingya Terkatung-katung
Editor
Maria Rita Hasugian
Rabu, 13 Mei 2015 12:53 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ribuan migran dan pencari suaka terpaksa tinggal di dalam kapal yang terombang-ambing di tengah laut setelah Indonesia dan Malaysia menolak mereka masuk dan berlindung di dua negara ASEAN ini.
Malaysia secara terang-terangan menolak kehadiran etnis muslim Rohingya dari Myanmar itu. Selama beberapa tahun ini mereka memasuki Malaysia secara diam-diam. "Kami tidak akan membiarkan kapal asing masuk," kata Tan Kok Kwee, laksamana pertama lembaga penegak maritim Malaysia, seperti dikutip dari Sydney Morning Herald, 13 Mei 2015. "Kecuali kapal rusak dan tenggelam. Angkatan laut akan menyediakan keperluan dan (kembali) menyuruh mereka pergi."
Sikap Malaysia tersebut datang beberapa jam setelah Indonesia menarik kembali ke laut sebuah kapal yang mengangkut ratusan Rohingya, imigran, dan pencari suaka dari Bangladesh, termasuk perempuan dan anak-anak. Otoritas Indonesia melakukannya setelah menyediakan bahan bakar, makanan, dan air. "Mereka seharusnya tidak memasuki perairan Indonesia tanpa izin kami," kata Fuad Basya, juru bicara Angkatan Darat Indonesia.
Para imigran yang ditinggalkan di laut oleh para penyelundup manusia tersebut diyakini memiliki sedikit makanan, air, dan obat-obatan. Badan pengungsi PBB telah meminta negara-negara yang berada di sekitar perairan tempat kapal para imigran berlayar untuk membuka akses bagi mereka dan memulai operasi pencarian dan penyelamatan untuk menemukan kapal.
Lebih dari 1.500 imigran mendarat di Indonesia dan Malaysia pada Minggu dan Senin lalu, Adrian Edwards, juru bicara Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR), mengimbau kepada pemerintah untuk melanjutkan operasi penyelamatan untuk menemukan dan menyelamatkan para penumpang. "Banyak di antara mereka diyakini dalam keadaan semakin lemah dengan sedikit makanan dan air selama berhari-hari atau berminggu-minggu," kata Edwards.
Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) mengatakan operasi pencarian dan penyelamatan sangat dibutuhkan. "Perlu upaya regional. Kita tidak memiliki kapasitas untuk mencari mereka, tapi pemerintah dapat melakukannya," kata Joe Lowry, juru bicara IOM.
Ia mengkhawatirkan para imigran berada dalam kondisi yang sangat buruk dan apabila tidak segera ditemukan banyak dari antara mereka yang mungkin telah meninggal.
Chris Lewa, dari Arakan Project, yang selama bertahun-tahun telah melacak kapal yang melakukan penyeberangan berbahaya melalui Teluk Benggala, memperkirakan antara 6-20 ribu orang hidup dalam bahaya di laut.
Dia telah melakukan kontak melalui ponsel dengan penumpang di satu kapal yang mengaku telah tiga hari menderita kehabisan makanan. "Mereka bisa melihat daratan tapi tidak tahu di mana mereka berada. Anda tidak bisa membiarkan orang-orang ini mati di laut," kata Chris Lewa.
UNHCR mengatakan sebanyak 920 orang melarikan diri dari Myanmar. Mereka tewas saat melintasi Teluk Benggala karena kelaparan, dehidrasi, dan pemukulan oleh awak perahu di tengah lonjakan perdagangan manusia di Asia Tenggara. Sebanyak 53 ribu orang meninggalkan Myanmar dan Bangladesh tahun lalu. Ini dianggap eksodus terbesar di wilayah tersebut sejak Perang Vietnam.
SMH.COM.AU | MECHOS DE LAROCHA