TEMPO.CO, Myanmar - Aung San Suu Kyi, pemenang Nobel Perdamaian 1991, memperingatkan Amerika Serikat yang terlalu optimistis mengenai progres demokrasi di Myanmar. Menurut dia, reformasi politik di Myanmar mengalami kemacetan.
Peringatan pemimpin oposisi Myanmar tersebut dinyatakan seminggu sebelum kunjungan resmi Barack Obama ke Myanmar, seperti dilansir dari Al Jazeera, Rabu, 5 November 2014. Obama akan menemui Suu Kyi pada 14 November 2014 setelah pertemuan regional AS-ASEAN di Naypyidaw, 12-14 November 2014.
Suu Kyi mengatakan kepada wartawan bahwa dirinya percaya Washington dan negara-negara besar lain memang menginginkan reformasi politik di sana. Namun ada saat pemerintah Amerika terlalu optimistis atas proses reformasi yang sedang berjalan. "Jika mereka benar-benar mempelajari situasi negara ini, mereka akan tahu proses reformasi mulai macet sejak awal tahun kemarin," katanya. (Baca: SuuKyi Minta Amendemen Konstitusi)
"Faktanya, saya ingin bertanya kepada mereka yang banyak bicara soal proses reformasi. Langkah signifikan apa yang telah diambil selama 24 bulan terakhir?" dia menambahkan.
Pimpinan militer Myanmar telah membebaskan para tahanan politik pada 2011 lalu. Langkah ini disambut baik oleh Obama dan negara-negara Barat lain. Namun pemerintah Myanmar gagal menuntaskan ketegangan antara pemeluk Buddha dan muslim Rohingya. Kelompok kanan menuduh pemerintah masih membatasi kebebasan media--setidaknya 16 jurnalis ditahan selama tahun lalu. (Baca: Partai AungSanSuuKyi Daftar Ikut Pemilu)
Suu Kyi pun dilarang mencalonkan diri sebagai presiden. Pasalnya, draf konstitusi yang disahkan oleh pemerintah militer tidak memperbolehkan kandidat yang pernah menikah dengan orang asing. Suami Suu Kyi berasal dari Inggris. Kekuatan kelompok militer di parlemen pun membuat mereka memiliki hak veto untuk mengamendemen konstitusi.(Baca: SuuKyi Mulai Berkampanye)