Curhat Suami Jurnalis Peliput Serangan Israel
Editor
Yandi M rofiyandi TNR
Rabu, 21 November 2012 17:59 WIB
TEMPO.CO, Jakarta -- Tak ada suami yang tak cemas mendengar istrinya harus meliput konflik perang. Namun, atas nama profesionalitas, Gary Rudoren harus merelakan istrinya, Judi Rudoren, jurnalis The New York Times, melaksanakan tugasnya mengabarkan setiap perkembangan perang Israel-Palestina langsung dari Jalur Gaza.
Rudoren masih ingat minggu lalu saat Jodi mengatakan akan segera dikirim ke Gaza. Dia yang saat itu sedang meliput di Yordania akan segera pulang esok harinya. Pria berusia 50 tahun itu mulai cemas karena telah mendengar kabar mengenai sejumlah roket dan rudal menghantam Gaza dan bagian selatan Israel.
Keesokan paginya, Rudoren menulis e-mail kepada Jodi menanyakan apa saja kira-kira yang ia butuhkan nanti di Gaza. E-mail pun berbalas, "Sediakan saja masker gas dan permen karet," tulis istrinya.
Setelah sampai di rumahnya di Yerussalem, tak berapa lama kemudian Jodi langsung berangkat ke Gaza dengan taksi bersama tas besarnya yang membawa rompi antipeluru, helm, dan masker gas. Tak lupa, permen karet Orbit dengan beberapa rasa pesanannya.
Terakhir melihat istrinya baru enam hari yang lalu, tapi sudah terasa sangat lama bagi Rudoren. Perang memang tak sampai ke Kota Yerussalem, tempat ia tinggal selama lima bulan terakhir setelah pindah dari Amerika.
Rudoren sangat bersyukur kedua anaknya, Lev dan Shayna, masih kecil. Mereka tak tahu jika ibunya tak bisa tidur nyenyak karena mendengar dentuman suara bom tak jauh dari kamar hotelnya di Gaza. Meskipun mereka sering menanyakan Jodi, keduanya bisa mengerti saat ia mengatakan jika ibunya sedang melakukan tugas yang sangat penting dan akan segera pulang secepatnya. Mengangguk percaya, mereka pun akan kembali memainkan Angry Birds di iPad mereka. Ironis bagi Rudoren.
Rudoren dan Jodi tak pernah putus berkomunikasi. Jodi selalu menceritakan semuanya. Namun, yang terpenting ia menceritakan kepada dunia melalui tulisannya mengenai apa yang terjadi di tempat tersebut.
Membaca jejaring sosial Facebook dan Twitter milik istrinya, Rudoren menyadari jika istrinya tak hanya bertahan, tetapi juga mengalami banyak kemajuan. "Dia kadang terlihat emosional, tapi tetap profesional. Saya tahu dia gugup, tapi saya tak pernah merasa ia takut," tulisnya. Kadang-kadang kemarahan Rudoren muncul karena sejumlah orang yang mengecam laporan istrinya di Internet atau melalui e-mail.
Menurut dia, walaupun Internet dan media sosial menolong dengan menyebarkan informasi atau video peperangan Israel dan kelompok Hamas, tapi kadang juga membuat gila. Seperti halnya kampanye di Amerika dengan kalimat-kalimat pedas yang berisi ekspresi kebencian mengenai konflik tersebut.
Rudoren percaya solusi terhadap perang ini bisa terjadi jika saja semua pihak bisa melewati kebencian yang ada. Mungkin ia berharap perang selesai sehingga istrinya bisa segera pulang dan berkumpul bersama mereka. Melalui tulisan panjangnya di blog pribadi yang kemudian dimuat di The New York Times, 20 November 2012, ia merangkumnya dalam satu kalimat pesan singkat yang mendalam untuk istrinya.
"Anak-anak dan aku baik-baik saja. Kami sangat merindukan Jodi, tapi dengan ukuran yang sama antara cinta, bangga, dan rasa cemas. Kami tahu dia berjuang dan berharap dia segera pulang. Oh iya, berhentilah membenci semua orang," tulis Rudoren, berharap pesan singkat ini masih cukup jika ditulisnya dalam akun Twitter.
NYT | MUNAWWAROH
Baca juga:
Indonesia, #Pray For Gaza
Peringatan Israel: Jurnalis, Jauhi Hamas
Lewat Twitter, Jurnalis Beritakan Serangan Israel
Ketemu Netanyahu, Hillary Bahas Gencatan Senjata
Israel Serbu Gaza Tiap Kali Obama Terpilih
Ini Situs-situs Israel yang Dilumpuhkan Anonymous