TEMPO.CO, Rangoon - Aung San Suu Kyi, pemimpin pro-demokrasi Myanmar, untuk pertama kalinya berkunjung ke Amerika Serikat sejak dia menjalani tahanan rumah pada 1990. Kehadiran Suu Kyi ke AS untuk menerima penghargaan tertinggi bagi warga sipil dari AS.
Penerima hadiah Nobel Perdamaian ini akan melakukan kunjungannya selama 18 hari sejak Senin, 17 September 2012. Dia dijadwalkan akan menghadiri berbagai acara, termasuk Congressional Gold Medal, dan berbagai pertemuan dengan staf Kementerian Luar Negeri dan Gedung Putih.
Semenjak dibebaskan dari tahanan rumah pada 2010, Suu Kyi melakukan perjuangan melalui parlemen. Kursi di parlemen didapatkan Suu Kyi setelah partainya memenangkan pemilu sela pada April lalu.
"Beliau akan berada di Gedung Putih untuk menerima penghargaan tertinggi dari Kongres, hanya dua tahun setelah beliau bebas dari tahanan rumah," kata Joe Crowley, anggota Kongres dari Partai Demokrat. Tak ketinggalan Suu Kyi juga akan bertemu dengan Presiden Barack Obama dan beragam komunitas Myanmar di sana.
Suu Kyi kini dihadapkan berbagai persoalan menyangkut konflik etnis di negara bagian barat Rakhine awal tahun ini. Kekerasan di sana pecah setelah terjadi bentrok antara etnis mayoritas pemeluk Budha melawan minoritas muslim.
Akibat bentrok yang disulut oleh isu pemerkosaan dan pembunuhan terhadap gadis belia Budha tersebut, puluhan orang meningga dunia dan ratusan lainnya kehilangan tempat tinggal.
Kelompok hak asasi manusia meminta perhatian kepada pihak-pihak terkait terhadap nasib etnis Rohingya yang beragama Islam. Pasalnya, pemerintah Myanmar tidak mengakui mereka sebagai warga negaranya, sedangkan permohonan kewarganegaraan dari negeri tetangga ditolak.
Aung San Suu Kyi dianggap oleh kelompok hak asasi manusia bergeming terhadap isu ini, meskipun memiliki kesempatan di parlemen untuk menyerukan agar etnis minoritas mendapatkan hak-hak hukum.
Ketika ditanya wartawan pada Juni 2012 lalu seputar nasib Rohingya sebagai warga negara Myanmar, dia mengatakan, "Saya tidak tahu," seraya menjelaskan bahwa pemerintah Myanmar harus mengklarifikasi status kewarganegaraan mereka.
AL JAZEERA | BBC | CHOIRUL
Berita terkait
Militer Tuduh Pemilu Myanmar Dicurangi, Pemerintahan Aung San Suu Kyi Terancam
29 Januari 2021
Militer Myanmar menuduh pemilu diwarnai kecurangan dan tidak mengesampingkan kemungkinan kudeta terhadap pemerintahan Aung San Suu Kyi
Baca SelengkapnyaInvestigasi Reuters: Cerita Pembantaian 10 Muslim Rohingya
10 Februari 2018
Dua orang disiksa hingga tewas, sedangkan sisanya, warga Rohingya, ditembak oleh tentara.
Baca SelengkapnyaMiliter Myanmar Temukan 17 Jasad Umat Hindu, ARSA Dituding Pelaku
27 September 2017
Militer Myanmar?kembali menemukan 17 jasad umat Hindu?di sebuah kuburan massal di Rakhine dan ARSA dituding sebagai pelakunya.
Baca SelengkapnyaDewan Keamanan PBB Lusa Bahas Nasib Rohingya
26 September 2017
Dewan Keamanan PBB akan bertemu lusa untuk membahas penindasan Rohingya di Myanmar.
Baca SelengkapnyaMyanmar Sebut Milisi Rohingya Tindas Warga Hindu di Rakhine
26 September 2017
Pasukan militer?Myanmar mulai membuka satu persatu?tudingan?kekejaman?oleh?milisi Rohingya atau ARSA.
Baca SelengkapnyaPengadilan Rakyat Mendakwa Mynmar Melakukan Genosida
25 September 2017
Pengadailan Rakyat Internasional menyimpulkan Myanmar melakukan genosida terhadap minoritas muslim Rohingya.
Baca SelengkapnyaBangladesh Bebaskan 2 Jurnalis Myanmar yang Ditahan di Cox Bazar
23 September 2017
Kedua jurnalis Myanmar ini berpengalaman bekerja untuk berbagai media internasional.
Baca SelengkapnyaWarga Hindu Ikut Jadi Korban Kerusuhan di Rakhine Myanmar
6 September 2017
Sebagian warga Hindu mengungsi ke Banglades dan tinggal berdampingan dengan warga Muslim Rohingya.
Baca SelengkapnyaJet Tempur Myanmar Hilang Kontak Saat Latihan
5 September 2017
Satu pesawat tempur militer Myanmar hilang saat melakukan pelatihan penerbangan di wilayah selatan Ayeyarwady.
Baca SelengkapnyaBentrok di Myanmar, Kemenlu: ASEAN Pegang Prinsip Non-Intervensi
27 Agustus 2017
ASEAN mendukung Myanmar dalam proses demokrasi, rekonsiliasi, dan pembangunan di negara tersebut dengan memegang prinsip non-intervensi.
Baca Selengkapnya