TEMPO Interaktif, Jakarta:Krisis politik dan militer yang melanda sejak 2006 lalu telah mengakibatkan sekitar 37 orang tewas di Timor Leste. Negara baru itu juga tak lepas dari masalah penegakan hukum. Aneka kekerasan, seperti kekerasan seksual dan keekrasan dalam rumah tangga pun tercatat mengalami peningkatan. Sesuai laporan dari Pengadilan Distrik Dili, saat ini terdapat sekitar 706 kasus yang belum diselesaikan.Dari kasus sebanyak itu, kasus kekerasan seksual tercatat meningkat 30 persen, dari sebelumnya 26 kasus. Pengadilan juga hampir setiap hari menerima laporan adanya kekerasan domestik.Ketua Komisi Urusan Pendataan Pengadilan Distrik Dili, Agapito Soares, mengatakan banyak kasus yang belum terselesaikan karena minimnya kualitas dan kapasitas pengadilan. Krisis juga menjadi salah satu penghambat proses peradilan. Hukum dinilai cacat sejak Timor Leste merdeka, sehingga pemerintah memutuskan mendatangkan hakim internasional. Namun, kedatangan mereka menimbulkan aksi kontra dari para hakim Timor Leste. Kendala bahasa juga membuat proses peradilan terkatung-katung. Menteri Kehakiman Lucio Maria Lobato mengatakan pemerintah pimpinan Xanana akan bekerja keras dalam perbaikan sistem peradilan. Menurutnya, selama lima tahun dalam pemerintah Alkatiri warga Timor Leste tidak mendapat keadilan karena para pemimpin negeri itu punya kekebalan hukum dan sering melakukan intervensi terhadap proses peradilan. Dengan anggaran yang akan disahkan bulan Desember, katanya, ia akan memprioritaskan rehabilitasi pengadilan, meningkatkan kapasitas para hakim, serta merehabilitasi lembaga permasyarakatan di setiap distrik. Terjadinya peningkatan kekerasan di Timor Leste, menurutnya, disebabkan karena kurangngya fasilitas pengadilan. Lemahnya peradilan dalam memproses setiap kasus terlihat dari kurang seriusnya setiap pengadilan. “Sehingga setiap kasus ditunda-tunda hingga bertahun-tahun.” Namun, ia berjanji semua kelemahan yang ada akan diperbaiki. “Tetapi tergantung kerja sama semua pemimpin Timor Leste.” Jose Sarito Amaral