TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Bangladesh telah membatasi pergerakan pengungsi Rohingya dengan melarang meninggalkan kamp yang telah ditentukan untuk mereka. Sejauh ini lebih dari 400 ribu orang telah melarikan diri dari kekerasan di Myanmar.
Polisi Bangladesh mengeluarkan perintah yang melarang pengungsi Rohingya meninggalkan daerah dan kamp yang telah ditunjuk pemerintah di distrik perbatasan pada Sabtu, 16 September 2017.
Baca: Bangladesh Tahan 2 Jurnalis Myanmar Saat Meliput Rohingya
"Pengungsi Rohingya berisiko melakukan perjalanan berbahaya untuk menghindari kekerasan. Mereka harus tinggal di kamp yang ditunjuk sampai mereka kembali ke negara mereka," kata Sahely Ferdous, juru bicara polisi, seperti dikutip dari Al Jazeera.
Rohingya juga diminta untuk tidak berlindung di rumah teman atau kenalan mereka. Penduduk setempat juga diminta untuk tidak menyewakan rumah bagi para pengungsi.
"Mereka tidak dapat melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain melalui jalan darat, kereta api, atau jalur air," demikian bunyi perintah tersebut.
Sopir bus, truk, dan pekerja telah diminta untuk tidak membawa Rohingya keluar dari kamp.
Baca: Bangladesh Protes Drone dan Heli Myanmar Terbang tanpa Izin
Polisi mengatakan mereka telah menyiapkan pos pemeriksaan dan pengawasan di titik transit utama untuk memastikan para pengungsi Rohingya tidak melakukan perjalanan ke bagian lain negara tersebut.
Seperti yang dilansir Al Jazeera pada 17 September 2017, kamp-kamp baru juga disiapkan untuk membantu menampung masuknya pengungsi baru.
Pembatasan tersebut diumumkan saat pemerintah Bangladesh mengatakan mereka menghadapi krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya karena masuknya 409 ribu pengungsi sejak akhir bulan lalu.
Ada kekhawatiran bahwa ribuan muslim Rohingya akan pindah dari wilayah perbatasan ke daratan Bangladesh. Kondisi sudah memburuk di perbatasan Cox's Bazar di Bangladesh. Sebagian besar pengungsi Rohingya hidup dalam kondisi kumuh.
Baca: Senator Top AS Tepis Suu Kyi Bungkam Soal Rohingya, Ini Buktinya
Bangladesh juga telah meminta Myanmar untuk membawa pulang etnis Rohingya yang telah melarikan diri ke negara itu.
Kekerasan terakhir di Myanmar yang pecah pada 25 Agustus 2017 setelah para milisi Rohingya menyerang lebih dari 30 pos polisi dan tentara, yang memicu tindakan keamanan terhadap orang Rohingya.
Pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, dan juga militer Myanmar, telah menuai kecaman internasional atas perlakuannya terhadap Rohingya. Myanmar tidak mengakuinya sebagai warganya. Rohingya tidak memiliki kewarganegaraan dan terusir dari tanah kelahiran mereka.
AL JAZEERA | YON DEMA