TEMPO.CO, Yangon- Etnis minoritas muslim Rohingya untuk pertama kalinya melancarkan serangan besar yang terkoordinasi terhadap pos-pos polisi dan markas militer Myanmar di negara bagian Rakhine dinihari tadi.
Dalam serangan di kota Maungdaw, Buthidaung dan Rathedaung di negara bagian Rakhine utara yang telah diakui oleh Arakan Rohingya Salvation Army, Arsa, telah menewaskan sedikitnya 32 orang, baik dari pihak keamanan maupun dari pemberontak.
Baca: Pemberontak Rohingya Serang Pos Polisi Myanmar, 32 Orang Tewas
Serangan milisi Arsa berawal pada pukul 1 dini hari tadi, 25 Agustus 2017. Arsa, sebuah kelompok yang sebelumnya dikenal sebagai Harakah al-Yaqin, menyerang sebuah kantor polisi di wilayah Maungdaw di negara bagian Rakhine utara dengan bom rakitan.
Setelah itu, beberapa serangan susulan dilakukan di beberapa wilayah lain di Rakhine. Sedikitnya 24 pos polisi diserang oleh milisi Arsa. Termasuk sebuah serangan terhadap pos polisi di Taung Bazaar pada pukul 3 dini hari oleh sekitar 150 milisi Arsa.
Serangkaian serangan itu, menewaskan 1 tentara, 10 polisi dan 21 milisi pemberontak Rohingya. Meskipun beberapa laporan terpisah menyebutkan bahwa korban tewas melebihi angka resmi tersebut.
Baca: Longgarkan Gerakan Rohingya, Myanmar Terhindar dari Ekstrimisme
Setelah penyerangan tersebut, Arsa mengaku bertanggung jawab melalui unggahan di Twitter yang mengatakan bahwa pihaknya memerangi penganiayaan Rohingya. Dalam unggahan tersebut Arsa juga mencantumkan sebuah pernyataan bahwa aksi itu sebagai tindakan defensif terhadap pasukan keamanan Myanmar di lebih dari 25 lokasi, namun tidak memberikan rincian.
Arsa juga mengatakan bahwa langkah tersebut sebagai balasan atas blokade dua minggu oleh pihak berwenang yang berdampak pada pasokan makanan bagi umat Islam di Kotapraja Rathedaung. Selain adanya peningkatan kekerasan oleh militer di Rathedaung dan Maungdaw terhadap etnis Rohingya.
Baca: Rohingya Angkat Senjata Hadapi Myanmar
Dalam pernyataan hari Jumat, kelompok tersebut juga berikrar akan melanjutkan perjuangan mereka dengan lebih banyak serangan lainnya.
Serangan tersebut menandai peningkatan dramatis dalam konflik yang terjadi di Rakhine sejak Oktober 2017, ketika terjadi serangan serupa yang menewaskan 9 polisi. Serangan oleh Arsa kemudian memicu operasi militer besar-besaran.
Operasi militer tersebut kemudian mengakibatkan sekitar 87.000 orang Rohingya melarikan diri ke Bangladesh. Perserikatan Bangsa-Bangsa menuduh pasukan keamanan Myanmar melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan termasuk, pembunuhan, pemerkosaan dan pembakaran.
Situasi di negara tersebut memburuk lagi awal bulan ini ketika pasukan keamanan memulai "operasi pembersihan" baru dengan ketegangan yang beralih ke perkampungan Rathetaung, di sini komunitas Buddhis Rakhine dan Rohingya tinggal berdampingan.
AL JAZEERA |THE IRRAWADDY|YON DEMA