TEMPO.CO, Tokyo -Sejumlah pengamat dan mantan perwira tinggi militer Amerika Serikat yang terlibat dalam Perang Korea tahun 1950-an menyakini Amerika Serikat tidak akan menyerang Korea Utara. Korea Selatan, sekutu terdekatnya menjadi alasan utama.
Menurut Carl Baker, pensiunan dari Angkatan Udara Amerika Serikat dan memiliki pengalaman luas di Korea Selatan, rudal-rudal milik Korea Utara akan menimbulkan kehancuran besar di Korea Selatan.
Baca juga: Presiden Trump Pilih Perang, Pence: Cara Damai Hadapi Korea Utara
"Ini menjadi faktor yang paling membatasi Amerika Serikat," kata Baker seperti dikutip dari Washington Post, 21 April 2017.
Senator Lindsey O.Graham pekan ini menyatakan dukungannya untuk menyerang Korea Utara supaya menghentikan negara itu mengembangkan kemampuan rudalnya menjangkau Amerika Serikat.
Hanya saja, ia memperkirakan perang akan berakhir di Korea Selatan. "Ini akan mengerikan, namun perang akan berakhir di Korea Selatan, bukan di sini," kata Graham kepada NBC.
Baca juga: Menhan AS: Korea Utara Provokatif dan Tak Bisa Dipercaya
Ambisi Korea Utara saat ini untuk menghantam daratan Amerika Serikat dengan rudal membuat Korea Selatan hidup dalam ancaman senjata konvensional Korea Utara selama beberapa dekade.
Analis Korea utara dengan situsnya 38 North, Joseph S.Bermudez Jr, menjelaskan, markas tentara Korea Utara di Kaesong, di utara kawasan demiliterisasi Korea Utara-Korea Selatan atau DMZ, memiliki 500 artileri. Seluruh artileri ini dapat menjangkau wilayah utara Seoul, yang berjarak sekitar 30 mil dari DMZ.
Namun, satu saja proyetil terbesar yang ditembakkan Korea Utara dari DMZ akan menjangkau hingga ke selatan Seoul. Area ini merupakan kawasan metropolitan Seoul yang dihuni sekitar 25 juta orang.
Baca juga: Di PBB, Korea Utara Tegaskan Siap Perang Melawan Amerika Serikat
"Inilah efek kedekatan," kata David Maxwell yang bekerja sebagai tentara Amerika Serikat selama 30 tahun di Korea Selatan dan saat ini mengajar di Universitas Georgetown.
Bermudez menunjukkan betapa besar dampak dari rudal-rudal yang akan ditembakkan ke Seoul, jika perang menjadi jawaban atas perseteruan Korea Utara dan Amerika Serikat.
Menurut Bermudez, setengah dari artileri Korea Utara merupakan peluncur multi roket, termasuk peluncur 18 hingga 36 dengan besaran peluncur mencapai 300mm. Peluncur roket sebesar itu memiliki kemampuan menembak delapan kali untuk setiap 15 menit dan kemampuan jangkau 44 mil.
Baca juga: Korea Utara Tayangkan Video Olok-olok Rudal Hancurkan Amerika
Sehingga jika Korea Utara mulai menembakkan artilerinya ke Korea Selatan, maka dalam sejam akan ditembakkan empat ribu tembakan. Maka, sekitar 2.811 kematian dan 64 ribu orang tewas di hari pertama, kebanyakan yang meninggal terjadi dalam rentang waktu tiga jam setelah tembakan.
Yang mengerikan, sebagian yang menjadi korban adalah warga Amerika. Karena sekitar 28 ribu tentara Amerika Serikat bertugas di Korea Selatan. Mereka bertugas di pangkalan Angkatan Udara Amerika Serikat di Osan dan yang terbaru di Pyeongtaek sebagai pengganti pangkalan militer Amerika di Seoul.
Baca juga: Presiden Trump Setujui Sanksi Baru ke Korea Utara
Mencermati fakta ini, menurut Baker dari Pusat Forum Pasifik untuk Strategi dan Kajian Internasional, pernyataan pemerintah Amerika Serikat bahwa semua opsi tersedia untuk mengatasi masalah Korea Utara adalah tidak benar.
"Kita sesungguhnya tidak memiliki opsi militer. Orang-orang di Washington mengatakan 'Kita punya kemampuan untuk ini,' namun orang-orang kita yang duduk di Seoul mengatakan,'Kamu tidak dapat melakukan hal itu," kata Baker.
Sehingga melindungi Seoul dari ancaman Korea Utara menjadi prioritas utama untuk aliansi ini.
WASHINGTON POST | MARIA RITA