TEMPO.CO, Ankara—Beberapa hari pasca-referendum konstitusi, parlemen Turki mengesahkan perpanjangan keadaan darurat yang sudah diberlakukan selama sembilan bulan sejak upaya kudeta gagal.
Seperti dilansir AFP dari media pemerintah Turki, Rabu 19 April 2017, keadaan darurat diperpanjang tiga bulan hingga 19 Juli mendatang.
Baca: Referendum Turki, Erdogan Keok di Ankara, Istanbul, dan Izmir
Ini berarti langkah kontroversial, yang berujung pada penangkapan 113 ribu orang, masih akan diberlakukan saat Turki memperingati satu tahun upaya kudeta gagal pada 15 Juli 2016.
Keputusan parlemen dipandang sebagai formalitas setelah langkah itu didukung oleh kabinet pada Senin, satu hari setelah referendum yang memberikan Presiden Recep Tayyip Erdogan kekuasaan lebih luas.
Belum diketahui alasan perpanjangan masa darurat. Namun ketegangan pasca-referendum meningkat setelah partai oposisi utama Turki mendesak pembatalan atas hasil referendum konstitusi.
Mereka menuding banyak dugaan kecurangan terjadi dalam proses referendum sehingga hasil referendum dianggap tidak sah.
Baca: Menang Referendum, Erdogan Minta Asing Hormati Keputusan Turki
Referendum konstitusi Turki digelar pada Ahad lalu. Hasil refedendum 51,4 persen pemilih setuju, sedangkan 48,63 persen menolak perubahan konstitusi. Tipisnya hasil referendum memunculkan dugaan kuat akan kecurangan serta manipulasi suara.
Referendum digelar untuk mengubah sistem pemerintahan Turki, dari parlementer menjadi presidensil.
Dengan perubahan tersebut, Presiden Turki saat ini, Recep Tayip Erdogan, dimungkinkan untuk mempertahankan kekuasaannnya sampai 2029. Selain itu, kewenangan presiden akan lebih besar dari sebelumnya.
Bulent Tezcan, Wakil Ketua Partai Rakyat Republik (CHP) mengatakan bahwa partainya akan mengajukan permohonan secara resmi untuk membatalkan hasil referendum. Menurutnya, segala upaya legal akan ditempuh. “Kami menuntut pembatalan referendum ini,” ujar Tezcan seperti dikutip AP.
Pihak oposisi telah merinci beberapa penyimpangan yang terjadi selama proses referendum. Salah satunya mengenai surat suara tanpa stempel resmi. Sementara menurut hukum Turki, surat suara sah harus memiliki stempel resmi sebagai persyaratan.
Namun hal itu dibantah pemerintah Turki. “Upaya membayangi hasil pemungutan suara dengan menebar rumor penipuan adalah upaya yang sia-sia,” ujar Binali Yildirim, Perdana Menteri Turki.
Menurutnya, kehendak rakyat yang bebas telah terepresentasi melalui kotak suara. Ia meminta agar semua pihak menghormati hasil referendum. “Ini aadalah sebuah kesalahan ketika orang-orang melakukan prostes setelah rakyat bersuara.”
Ketua Partai CHP, Kemal Kilicdaroglu, menuding bahwa komisi pemilihan umum tidak netral dan memihak kepada pemerintah. “Telah jelas bahwa dewan tinggi pemilihan tidak menerima mandat dari rakyat atau konstitusi, namun dari penguasa,” ujar dia.
Sementara itu, di Ankara, ratusan orang berdiri di luar kantor dewan pemilihan umum. Mereka turut mendesak agar hasil referendum dibatalkan, menyusul temuan surat suara tanpa stempel resmi. Aksi serupa juga dilaporkan terjadi di Istanbul. Kedua kota tersebut tercatat sebagai dua kota terbesar di Turki.
AFP | AP | DW | SITA PLANASARI AQUADINI