TEMPO.CO, Yangon—Pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, membantah terjadi pembantaian terhadap etnis minoritas Muslim Rohingya di negerinya.
Dalam wawancara eksklusif dengan BBC, Kamis 6 April 2017, Suu Kyi mengakui memang terjadi kekerasan di Negara Bagian Rakhine, tempat 1 juta penduduk Rohingya menetap selama beberapa generasi.
Namun peraih Hadiah Nobel Perdamaian ini menegaskan istilah pembersihan etnis adalah kata yang terlalu keras untuk menggambarkan apa yang terjadi di wilayah itu.
Baca: Myanmar Minta Internasional Usut Jaringan Pemberontak Rohingya
“Ada banyak permusuhan di sana. Muslim membunuh Muslim juga, jika mereka bekerja sama dengan aparat,” kata Suu Kyi, 72 tahun kepada Fergal Keane dari BBC.
Baca Juga:
“Ini bukan masalah pembersihan etnis. Ini masalah antar-warga dari kubu yang berbeda dan terpecah. Kami kini tengah berusaha agar perbedaan itu tidak semakin meluas,” ia menambahkan.
Pendapat Suu Kyi bertentangan dengan hasil penyelidikan Perserikatan Bangsa-Bangsa seusai kekerasan pada Oktober lalu. Tim penyelidiki PBB bulan lalu menyebut sekitar 1.000 warga Rohingya tewas di tangan militer, sementara perempuan dan anak-anak mengalami penyiksaan hingga perkosaan keji.
Baca: Myanmar Hukum Mati Pria Rohingya Pemimpin Penyerangan Polisi
Kaum Rohingya tak diakui kewarganegaraannya di Myanmar yang juga dikenal sebagai Burma, karena dipandang sebagai imigran ilegal dari Bangladesh. Mereka menderita diskriminasi rutin dari para pejabat resmi dan masyarakat umum.
Puluhan ribu warga Rohingya terpaksa hidup di kamp pengungsian setelah lari dari kampungnya akibat kekerasan sektarian pada 2012.
Jumlah itu bertambah setelah 70 ribu lebih warga Rohingya melarikan diri ke Bangaldesh menyusul operasi militer Myanmar sejak Oktober lalu.
Bagi banyak orang, sikap Suu Kyi yang berdiam diri terkait Rohingya merusak reputasi dia sebagai tokoh hak asasi manusia, yang diperolehnya melalui perjuangan puluhan tahun melawan junta militer yang dijalankannya saat berada dalam tahanan rumah.
Suu Kyi pun berada di bawah tekanan dunia yang karena dianggap diam melihat penderitaan warag Rohingya.
Berbicara dalam sebuah wawancara tatap muka untuk pertama kalinya tahun ini, Suu Kyi mengatakan sudah menjawab pertanyaan tentang masalah ini sebelumnya.
"Pertanyaan ini telah diajukan sejak 2013, ketika babak terakhir kekerasan pecah di Rakhine.
"Dan mereka (para jurnalis) mengajukan pertanyaan dan saya menjawab mereka.
"Hanya karena saya tidak membuat pernyataan yang diinginkan orang, yaitu sekadar mengutuk satu komunitas atau yang lainnya, maka saya dianggap diam."
BBC | SYDNEY MORNING HERALD | SITA PLANASARI AQUADINI