TEMPO.CO, Arkansas - Pemerintah Negara Bagian Arkansas, Amerika Serikat, kesulitan mencari saksi yang rela menyaksikan eksekusi mati delapan terpidana. Karena belum ada yang bersedia, hukuman mati delapan terpidana kembali ditunda setelah bertahun-tahun mereka menunggu eksekusi itu.
Dalam undang-undang Arkansas, minimal enam saksi harus menghadiri eksekusi mati. Jika tidak ada yang menyaksikan, secara otomatis proses eksekusi mati ditunda hingga terdapat minimal enam orang berusia di atas 21 tahun bersedia menjadi saksi.
Tidak ada negara bagian lain di Amerika Serikat yang melaksanakan begitu banyak eksekusi dalam waktu singkat sejak 1977. Eksekusi dilakukan dengan jarak yang berdekatan karena dikhawatirkan cairan yang digunakan untuk suntikan mematikan kedaluwarsa.
Jika kedaluwarsa, cairan itu tidak dapat digunakan dan pemerintah harus mengatur ulang tanggal eksekusi, sehingga proses itu akan memakan waktu lama.
Delapan orang yang akan dieksekusi itu dihukum dalam kasus pembunuhan antara tahun 1989 dan 1999. Mereka telah dijatuhi hukuman mati sejak bertahun-tahun yang lalu.
Namun Arkansas belum mengeksekusi seorang pun terpidana sejak 2005 karena komplikasi hukum dan kesulitan mendapatkan obat suntikan mematikan.
Wendy Kelley, Direktur Departemen Koreksi, dilaporkan telah mendekati beberapa orang untuk dimintai menjadi saksi sehingga eksekusi dapat segera berlangsung.
Kelly mendekati Rotary Club di Little Rock, dan mengatakan, “Anda tampaknya kelompok yang tidak memiliki latar belakang kejahatan dan berusia lebih dari 21 tahun. Jadi, jika Anda tertarik melayani dalam hal ini peran serius, hubungi saja kantor saya.”
Namun tidak ada yang menghubunginya. Bill Booker, presiden klub tersebut, mengatakan ia yakin orang-orang di klubnya mungkin saja mendukung hukuman mati, tapi enggan menyaksikannya secara langsung.
“Hal itu dapat menyebabkan trauma emosional selama beberapa waktu. Ini akan menjadi salah satu hal yang paling mengerikan dalam hidup,” kata Booker, seperti dilansir Metro.uk pada 27 Maret 2017.
METRO.UK | YON DEMA