TEMPO.CO, Ankara - Turki menunda pembicaraan politik tingkat tinggi dengan Belanda dan melarang Duta Besar Belanda kembali ke Ankara.
Dalam pidato yang disampaikan pada Selasa, 14 Maret 2017, Wakil Perdana Menteri Turki Numan Kurtulmus mengatakan sikap tersebut sebagai sanksi politik terhadap Belanda.
Menurut dia, Turki memiliki hak melindungi harga diri dan hukum, tapi tampaknya rusak akibat pelanggaran kedaulatan oleh beberapa negara asing di Eropa. "Terutama Belanda," ucapnya.
Berita terkait: Menterinya Dilarang Masuk, Turki Segel Kedutaan Belanda
Hubungan diplomatik kedua negara memanas setelah pemerintah Belanda melarang pesawat yang ditumpangi Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu mendarat di Rotterdam.
Cavusoglu sedianya dijadwalkan berbicara dalam rapat umum mengenai referendum konstitusi yang akan memberikan kekuasaan lebih kepada Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.
Pemerintah Belanda mengatakan izin Cavusoglu dicabut karena keberadaannya di Negeri Bunga Tulip dikhawatirkan mengganggu keamanan di sana. Sebab, Belanda akan menggelar pemeliharaan umum pada Rabu, 15 Maret 2017.
"Erdogan menuding Belanda fasis dan seperti Nazi," tulis UPI, Selasa.
Berita terkait: Menteri Diusir,Turki Janji Balas Belanda Dengan Cara Paling Keras
Perselisihan politik ini memicu protes, baik di Belanda maupun Turki. "Pada akhirnya, Anda akan melihat Belanda bakal meminta maaf," ujar Kurtulmus, Senin, 13 Maret 2017.
Reaksi tak kalah keras datang dari Cavusoglu ketika dilarang mendarat di Belanda. Menurut dia, sikap Belanda itu rasis, xenophobia, dan islamophobia.
"Mengapa saya dilarang, apakah saat ini saya seorang teroris? Apakah Turki menjadi sarang teroris?" kata Cavusoglu kepada CNN.
"Apakah hanya karena seorang warga Turki radikal sehingga seluruh Turki disebut radikal? Mereka mengatakan tidak. Lantas, apakah masalah keamanan? Mereka tidak memberikan keterangan rinci. Saya Menteri Luar Negeri Turki. Saya bukan teroris. Ini hanya alasan. Sayangnya, mereka menyembunyikan alasan sebenarnya."
UPI | CHOIRUL AMINUDDIN