TEMPO.CO, Washington - Komite intelejen parlemen Amerika Serikat, AS, telah membentuk tim khusus untuk menyelidiki dugaan persekongkolan antara tim kampanye Donald Trump dan Rusia.
Langkah itu dibuat berdasarkan laporan yang menyebutkan bahwa ada bukti keduanya memiliki hubungan.
Seperti dilansir Russia Today, Kamis 2 Maret 2017, ketua komisi intelejen parlemen, Devin Nunes dari Partai Republik dan anggotanya, Adam Schiff yang juga dari Republik, mengumumkan bahwa telah menyetujui melakukan penyelidikan.
Baca: Rusia Bantah Berkomunikasi dengan Juru Kampanye Donald Trump
"Kami telah mencapai kesepakatan tertulis antara anggota minoritas dan mayoritas dalam komite intelijen DPR, untuk menyelidiki dugaan kolusi Rusia dengan tim kampanye Trump," kata Schiff.
Menurut Schiff, analis intelijen AS telah menyimpulkan berdasarkan bukti yang diperoleh, bahwa Rusia mencoba untuk membantu Trump memenangkan pertarungan menuju Gedung Putih.
Sifat bantuannya dengan mendiskreditkan calon presiden dari Partai Demokrat, Hillary Clinton dan partainya, melalui serangan di dunia maya.
Dalam proses penyelidikan, komisi akan melakukan wawancara, meminta keterangan saksi, dan meninjau semua pelaporan yang mendasari laporan oleh Intelligence Community Assessment (ICA).
Baca: Rusia Rayakan Pelantikan Donald Trump Jadi Presiden AS
Laporan berjudul 'Russian Activities and Intentions in Recent US Elections," disebutkan bahwa Rusia terbukti membantu tim pemenangan Trump pada pemilu presiden 2016.
Selama ini, Trump kerap membantah stafnya memiliki kontak dengan Moskow sebelum pemilu tahun lalu, dan menepisnya sebagai berita bohong yang dilakukan oleh media mainstream. Selain Trump, Rusia juga berulang kali membantah tudingan itu.
Namun, sebuah laporan dari Washington Post pada Rabu, 1 Maret 2017, menyebutkan bahwa Jaksa Agung pilihan Trump, Jeff Sessions, pernah melakukan kontak sebanyak dua kali dengan Duta Besar Rusia sepanjang tahun lalu.
Padahal saat uji kelayakan di parlemen, Sessions mengaku tidak pernah berhubungan dengan Duta Besar Sergey Kislyak yang dianggap AS sebagai mata-mata Rusia tersebut.
Laporan itu lantas membuat anggota parlemen menyerukan pengunduran dirinya, sebab dianggap telah melakukan kebohongan.
Selain itu, bulan lalu, Penasihat Keamanan Nasional AS, Michael Flynn, mengundurkan diri setelah terbukti melakukan kontak dengan Rusia pada Desember 2016, sebelum resmi menjabat sebagai pembantu Trump di Gedung Putih.
Al JAZEERA | RUSSIA TODAY | YON DEMA