TEMPO.CO, Yangon- Pemerintah Myanmar berjanji akan menyelidiki apakah polisi melakukan kejahatan terhadap warga Muslim Rohingya seperti laporan yang dikeluarkan Kantor Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pekan lalu.
Seperti dilansir Reuters, Selasa 14 Februari 2017, PBB menyebutkan bahwa pasukan keamanan Myanmar, terutama polisi, telah melakukan pembunuhan massal dan pemerkosaan terhadap Muslim Rohingya serta membakar desa-desa mereka sejak Oktober lalu.
Pekan lalu militer menyatakan telah mempersiapkan satu tim untuk menyelidiki tuduhan kekejaman yang dilakukan oleh pasukan keamanan dan kemudian Kementerian Dalam Negeri pekan itu menyetujui penyelidikan terhadap polisi.
Baca: Tentara Myanmar Bentuk Tim Investigasi Kasus Rohingya
Kementerian Dalam Negeri dalam pernyataannya menyatakan bahwa "penyelidikan departemental" akan dilakukan "untuk mengetahui apakah kepolisian melakukan tindakan melawan hukum, termasuk kekerasan hak asasi manusia selama operasi pembersihan di wilayah tersebut."
"Laporan PBB itu memberikan banyak detail pertanggungjawatan atas apa yang dituduhkan terjadi, dan sebuah komite penyelidikan dibentuk untuk menanggapi laporan itu dengan bukti-bukti," kata Kolonel Polisi Myo Thu Soe kepara Reuters di Yangon, Senin lalu.
"Laporan PBB itu meliputi tuduhan pelanggaran hak asasi manusia serius terhadap polisi di Myanmar, termasuk pemerkosaan. Namun sebagaimana kita ketahui, itu tidak terjadi.”
Myo Thu Soe menambahkan lima polisi sudah dijatuhi hukuman dua bulan penjara setelah tayangan video yang viral di internet menunjukkan mereka melakukan kekerasan terhadap warga Muslim Rohingya.
Ini terjadi selama operasi yang ditujukan untuk mengusir terduga kelompok militan di negara bagian Rakhine.
Selain itu, tiga pejabat senior kepolisian yang terlibat dalam kasus itu dikenai sanksi, kata dia menambahkan.
Di Myanmar, jarang sekali pasukan keamanan yang melakukan banyak pelanggaran atau tuduhan yang diselidiki secara transparan menurut kelompok-kelompok hak asasi manusia.
Myanmar menolak hampir seluruh tuduhan pelanggaran hak asasi manusia di Negara Bagian Rakhine, tempat banyak warga Rohingya tinggal.
Mereka menyatakan bahwa operasi penanggulangan pemberontakan masih berlangsung sejak sembilan polisi tewas dalam serangan di pos keamanan dekat wilayah perbatasan Bangladesh pada 9 Oktober 2016.
Hampir 69 ribu Muslim Rohingya melarikan diri dari Myanmar ke Bangladesh sejak pasukan keamanan melakukan operasi pembersihan bulan Oktober lalu menurut perkiraan PBB.
Lebih dari 1.000 Muslim Rohingya tewas dalam operasi tersebut menurut dua pejabat senior PBB yang berurusan dengan pengungsi yang melarikan diri dari tindak kekerasan pekan lalu.
Seorang juru bicara Kepresidenan Myanmar mengatakan bahwa laporan terakhir dari komando militer menyebut kurang dari 100 orang yang tewas dalam operasi penanggulangan pemberontakan itu.
Rohingnya menghadapi perlakuan diskriminatif dari pemerintah Myanmar selama beberapa generasi. Mereka tidak diklasifikasikan sebagai kelompok berbeda di bawah hukum kewarganegaraan dan malah dianggap sebagai pendatang haram dari Bangladesh serta hanya memiliki hak sangat terbatas.
Sekitar 1,1 juta muslim Rohingya hidup seperti dalam situasi serupa apartheid di wilayah barat laut Myanmar.
Kekerasan tersebut memicu kritik baru dari dunia internasional bahwa pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi hanya sedikit sekali membantu anggota moniritas muslim itu.
REUTERS | SCMP | SITA PLANASARI AQUADINI