TEMPO.CO, Washington – Agen federal pengawal Presiden Amerika Serikat, Secret Service, diperintahkan untuk membayar ganti rugi sebesar US$ 24 juta (Rp 320,6 miliar) kepada sekitar 100 agen berkulit hitam yang menjadi korban rasisme atasan mereka.
Perintah itu datang dari pengadilan yang memutuskan Secret Service wajib membayar uang ganti rugi kepada agen-agen yang menjadi korban penghinaan ras. Pengadilan memenangkan penggugat, agen Secret Service berkulit hitam.
Baca juga:
Secret Service Mabuk Saat Kawal Obama
Kasus Secret Service AS ‘Jajan’ Bukan yang Pertama
Pemimpin gugatan itu adalah Ray Moore, yang mengabdi pada masa kepemimpinan Presiden Bill Clinton. Dia telah meminta promosi sebanyak 200 kali, tapi selalu ditolak. Moore kemudian bersama mitranya yang lain mengajukan gugatan.
Agen ini mengeluhkan perilaku diskriminatif oleh atasan mereka dengan jarangnya agen keturunan Afrika-Amerika dipromosikan untuk jabatan yang lebih tinggi meski telah memenuhi syarat. Hal itu berbanding terbalik jika dibandingkan dengan agen kulit putih.
Baca Juga:
Jennifer Klar, pengacara yang mewakili agen kulit hitam itu, menggambarkan kliennya sangat senang dengan putusan pengadilan terhadap Secret Service.
”Akhirnya… agen kulit hitam Secret Service tidak akan dibatasi oleh langit-langit kaca yang menahan mereka begitu lama,” kata Klar, seperti yang dilansir Washington Post pada 18 Januari 2017.
Ganti rugi selanjutnya akan dibagikan secara merata kepada 100 agen dengan masing-masing mendapatkan nominal sebesar US$ 300 ribu (Rp 4 miliar).
Selain itu, sebagai bagian dari kesepakatan, Secret Service telah setuju mengubah proses promosi dengan mempertimbangkan beberapa kandidat untuk setiap posisi dan merujuk pada catatan prestasi untuk melakukan promosi. Badan ini juga sepakat untuk membuat pusat pelaporan terkait dengan isu rasisme.
Menteri Keamanan Dalam Negeri AS, Jeh Johnson, mengaku dalam sebuah pernyataan bahwa dirinya senang karena resolusi itu benar-benar terwujud.
“Saya senang bahwa kami akhirnya mampu menciptakan sejarah dalam Secret Service,” kata Johnson, yang memimpin stafnya sejak tahun lalu untuk mengawasi penyelesaian kasus ini.
Kasus itu difokuskan pada agen kulit hitam yang berulang kali meminta promosi antara 1995 dan 2005 karena telah memenuhi syarat tapi tak kunjung mendapatkannya. Justru agen kulit putih yang minim pengalaman yang lebih sering mendapatkannya.
Para penggugat juga mengaku bahwa mereka sering mendengar bos mereka menggunakan penghinaan rasial untuk menggambarkan orang kulit hitam, termasuk para pemimpin dunia.
Beberapa bukti ditemukan dalam perjalanan kasus yang menunjukkan Secret Service dari 1990-an dan 2000-an sebagai tempat kerja yang intoleransi dengan lelucon rasis dan penghinaannya. Supervisor kulit putih kerap melontarkan olokan rasis, dan agen hitam diperingatkan untuk tidak mengeluhkannya atau hal itu bisa mencederai karier mereka.
WASHINGTON POST | NY DAILY NEWS | YON DEMA