TEMPO.CO, Astana - Kelompok oposisi bersenjata Suriah bersedia hadir dalam perundingan damai yang akan digelar di Astana, Kazaskhstan, pekan depan. Presiden Suriah Bashar al-Assad juga menyatakan siap datang di pertemuan ini.
Menurut sejumlah pemimpin pemberontak kepada media, perundingan itu akan diadakan pada 23 Januari 2017. Pertemuan ini sekaligus membicarakan masalah gencatan senjata yang berkali-kali dilanggar.
Berita terkait:
Pemerintah Suriah-Pemberontak Cekcok Soal Suplai Air
Suriah Tolak Beri Status Otonomi untuk Pemberontak
Panel PBB: Assad Terlibat Penggunaan Senjata Kimia di Suriah
Mohammad Alloush, tokoh pemberontak dari kelompok Jaish al-Sialm, pada Senin, 16 Januari 2017, mengatakan, dia akan memimpin delegasi mewakili pemberontak. Dia menerangkan, pemberontak akan membicarakan peran Iran dalam konflik berdarah di Suriah.
"Seluruh kelompok pemberontak akan berangkat ke Astana. Setiap orang setuju," ucap Alloush kepada kantor berita AFP.
"Pertemuan di Astana adalah sebuah proses untuk mengakhiri konflik berdarah. Kami ingin mengakhiri serangkaian kejahatan di Suriah," sambungnya.
Keputusan pemberontak bersedia berangkat ke Astana didahului dengan sebuah pertemuan selama lima hari di Ankara, Turki. Mereka berunding dan memutuskan ikut serta dalam perundingan yang diprakarasai oleh Rusia dan Turki.
Komite Negosiasi Tinggi, oposisi utama di Suriah, yang hadir di pertemuan Ankara, mendukung sikap delegasi militer anti-pemerintah menghadiri pertemuan di Astana, akhir Januari 2017.
Namun demikian, Shaam Network, situs berita oposisi, dalam laporannya, Senin, 16 Januari 2017, mengatakan bahwa sejumlah kelompok pemberontak termasuk Ahrar al-Sham, salah satu pasukan tempur utama oposisi, menyatakan tidak hadir di perundingan Astana.
Dari pihak pemerintah Suriah diperoleh kabar tentang kesiapan Presiden Bashar al Assad untuk menghadiri pertemuan dan membicarakan banyak hal.
AL JAZEERA | CHOIRUL AMINUDDIN