TEMPO.CO, Teheran - Sejumlah kepala negara telah menyampaikan belasungkawa atas wafatnya mantan Presiden Iran Ayatollah Akbar Hashemi Rafsanjani.
"Rafsanjani adalah tokoh penting tidak hanya di Iran, tapi juga simbol upaya rekonsiliasi perdamaian di tingkat internasional," kata Perdana Menteri Pakistan Navaz Sharif.
Ucapan belasungkawa juga datang dari Emir Kuwait Sheikh Sabah Al Ahmad Al Sabah, Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani, Presiden Irak Fuad Masum dan Wakil Presiden Irak Nouri Al-Maliki, serta Perdana Menteri India Narendra Modi.
Rafsanjani meninggal pada usia 82 tahun karena serangan jantung di Rumah Sakit Teheran, Ahad lalu. Pemakaman mantan presiden Iran yang dikenal sangat moderat dan reformis itu direncanakan Selasa hari ini.
Kemarin pagi, upacara pelepasan jenazah Ketua Dewan Kebijaksanaan Iran itu di Jamaran, Teheran Utara, dihadiri Presiden Hassan Rouhani dan para anggota kabinetnya. Pemerintah menetapkan tiga hari masa perkabungan.
Ketua Parlemen Iran Ari Larijani saat melayat menggambarkan Rafsanjani sebagai "seorang tokoh di masa-masa sulit (Iran). Namanya selalu mendampingi revolusi dan akan selalu demikian."
Warga Teheran menangisi Rafsanjani. "Dia menjaga agar Iran tetap aman dari kalangan garis keras selama ini," kata Maziar Rezaei, seorang agen perumahan.
Rafsanjani adalah teman dekat pemimpin Iran Ayatollah Ruhollah Khomeini selama Revolusi Islam 1979. Dia bertindak sebagai mediator dalam kesepakatan Iran-Contra. Dia juga mendorong program nuklir, tapi belakangan mendukung pembatasannya demi pemulihan sanksi atas Iran.
Pria bernama asli Akbar Hashemi Behramani itu memimpin Iran pada 1989-1997. Pada masa itu, Iran berjuang untuk membangun kembali perekonomian setelah perang dengan Irak pada era 1980-an.
Rafsanjani terkenal sebagai orang yang terbuka dan pandai menjelaskan sesuatu dengan jernih. Kepandaiannya itu menyebabkan orang dekat Imam Khomeini itu berjulukan “lidah revolusi”. Dia memperluas kebebasan media dan industri film di Iran.
Tapi dia disebut-sebut oleh jaksa di Argentina terkait dengan pengeboman terhadap pusat Yahudi di Buenos Aires pada 1984. Sebanyak 85 orang tewas saat itu.
Beberapa oposisi Iran menuduhnya terlibat dalam pembunuhan kaum liberal dan pemberontak selama masa pemerintahannya. Tuduhan tersebut ia bantah dan pemerintah Iran tak melanjutkan gugatannya.
ASSOCIATED PRESS | MEHR | NATALIA SANTI