TEMPO.CO, Yangon - Isu penganiayaan warga Rohingya oleh pemerintah Myanmar kian merebak menyusul beredarnya foto mengenaskan seorang bocah yang terdampar di kubangan lumpur di tepi sebuah sungai.
Foto bocah yang diidentifikasi sebagai Mohammed Shohayet terdampar di tepi Sungai Naf di perbatasan Bangladesh-Myanmar. Bocah 16 bulan itu tewas tenggelam saat mencoba mengungsi dari wilayah bergejolak di Myanmar.
Kisah itu lantas mengingatkan semua orang kepada foto Aylan Kurdi, bocah pengungsi Suriah berusia 3 tahun yang terbaring kaku di pantai Turki. Sebuah kesamaan yang mencolok di antara keduanya adalah mereka melarikan diri dari kekerasan dan konflik yang melanda negerinya masing-masing.
Shohayet dan keluarganya berusaha menyeberangi Sungai Naf untuk mengungsi ke Bangladesh guna menyelamatkan diri dari kekerasan di Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Namun, dalam perjalanan, perahu mereka tenggelam.
Dalam perahu nahas tersebut, terdapat ayah, ibu, paman, dan kakak Shohayet yang berusia 3 tahun. Hanya sang ayah yang berhasil selamat dari insiden tersebut. Sedangkan jenazah bayi itu ditemukan tersapu ke bibir Sungai Naf.
Baca Juga:
"Tidak ada gunanya saya hidup di dunia ini. Di desa kami, helikopter menembakkan senjata kepada kami. Tentara Myanmar juga menembaki kami. Kami tidak bisa tinggal di rumah kami. Kami melarikan diri dan bersembunyi di hutan," kata Zafor Alam, yang mengaku sebagai ayah bocah nahas tersebut.
"Kakek dan nenek saya dibakar sampai mati. Seluruh desa kami dibakar militer. Tak ada yang tersisa," ucapnya, seperti dilansir India Today, Kamis, 5 Januari 2017.
Sementara itu, pemerintah Myanmar menyatakan gambar itu hasil rekayasa dan propaganda agar dunia menyalahkan pemerintah atas apa yang terjadi pada etnis muslim Rohingya.
Pemerintah pada Rabu, 4 Januari 2017, merilis laporan untuk menyangkal tuduhan pelanggaran hak asasi manusia terhadap minoritas Rohingya dan mengingatkan pembaca untuk tidak mempercayai "berita palsu dan rumor".
Ribuan warga etnis Rohingya telah melarikan diri dari Myanmar guna menghindari aniaya oleh militer. Etnis minoritas yang hak kewarganegaraannya telah digantung bertahun-tahun mengklaim pasukan keamanan telah membakar rumah serta memperkosa dan membunuh mereka.
Para pejabat pemerintah Myanmar menyangkal bahwa mereka bertanggung jawab atas serangan itu dan menuduh Rohingya membakar rumah-rumah mereka sendiri.
Pemerintah Myanmar menolak mengakui Rohingya sebagai salah satu etnis minoritas di negara itu dan menggambarkan mereka sebagai Bengali atau orang-orang yang berasal dari Teluk Bengal.
Mereka dianggap “entitas tidak berkewarganegaraan”. Pada 2015, migrasi massal oleh ribuan orang Rohingya dari Myanmar dimulai.
INDIA TODAY | INDEPENDENT | YON DEMA