TEMPO.CO, Caracas - Penukaran uang kertas denominasi tertinggi di Venezuela berjalan rusuh. Pemerintah yang hanya memberi waktu 72 jam untuk menukar 100 bolivar dengan uang logam menyebabkan masyarakat harus mengantre di Bank-Bank.
Masyarakat yang protes pun melawan dengan menjarah toko dan memblokir jalanan. Dilansir dari BBC, kemarahan atas kebijakan pemerintah menyebabkan kerusuhan di enam kota pada hari Jumat, 16 Desember 2016. Akibat kerusuhan itu, sebanyak 32 orang ditahan polisi dan satu orang terluka.
Baca:
Venezuela Resesi, Orang tua Buang Anak-anaknya
Facebook Akan Beri Tanda Khusus untuk Berita Hoak
Gerakan Separatis California Dirikan Kedutaan di Rusia
Rasa frustasi masyarakat muncul karena pada hari Kamis, 15 Desember, mesin uang masih mengeluarkan 100 bolivar cetakan lama beberapa jam sebelum uang itu kadaluarsa. Kondisi ini diperparah karena belum ada penjelasan resmi kenapa seluruh cabang Bank di Venezuela belum memunculkan denominasi yang lebih besar untuk menggantikan 100 bolivar.
Uang kertas denominasi 100 bolivar sudah kehilangan sebagian besar nilainya dalam beberapa waktu terakhit dan kini nilainya sama seperti uang 2 sen dollar AS atau 0,015 poundsterling. Oposisi berpendapat hal ini adalah tanda bahwa Presiden Nicolas Maduro telah menjatuhkan perekonomian dan harus digulingkan.
Dalam pidatonya di televisi, Presiden Maduro mengapresiasi atas pengertian masyarakat Venezuela. Ia mengatakan, "Ini adalah upaya besar kita untuk mengatasi begitu banyak kejahatan dan trik," kata dia.
Data dari Bank Central menyebutkan ada lebih dari enam miliar 100 bolivar yang beredar di Venezuela. Jumlah itu merupakan setengah dari seluruh mata uang yang beredar.
Melakukan seluruh transaksi dengan uang tunai dianggap berbahaya karena bisa memancing maraknya perampokan dan kejahatan.
Presiden Maduro menyalahkan preman-preman dari negara tetangga, Kolombia, yang menyebabkan inflasi Venezuela mencapai 500 persen. Namun, ahli ekonomi mengatakan kebijakan Presiden Maduro hanya akan memberikan sedikit efek positif terhadap ekonomi dan masalah politik negara.
MAYA AYU | BBC