TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat terorisme dan Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya menilai penyanderaan terjadi lagi di perairan Sabah, karena pemerintah Malaysia sengaja mendiamkan.
“Ada indikasi seperti itu, paling tidak membiarkan. Makanya pemerintah harus didesak untuk merealisasikan MoU tiga negara untuk berpatroli di wilayah yang potensial pembajakan,” kata Ulya saat dihubungi Tempo, Minggu, 20 November 2016.
Nota kesepahaman yang dimaksud adalah kesepakatan antara Malaysia, Filipina dan Indonesia yang diteken di Yogyakarta beberapa waktu lalu. “Di peta itu jelas jalur laut operasi Abu Sayyaf,” kata Ulya tanpa menjelaskan lebih detail.
Baca:
Lagi, Dua Nelayan Indonesia Diculik di Perairan Sabah
Yahudi Minta Trump Tidak Data Muslim, Atau Ini yang Terjadi
Ulya juga menilai upaya pembebasan sandera dengan melibatkan tokoh Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF) Nur Misuari bakal kontra produktif dalam hubungan Filipina dan Indonesia.
“Nur Misuari masih menjadi target operasi pemerintah Filipina, meskipun Presiden (Rodrigo Roa) Duterte tampak merangkul Nur Misuari,” kata Ulya.
Selain itu, di sisi lain, kata Ulya, kelompok Abu Sayyaf merasakan bahwa penyanderaan bakal menumpuk pundi-pundi uang. “Tidak ada lagi aset strategis, nelayan potensial di sandera,” kata dia.
Dalam rilis CIIA beberapa waktu lalu, Ulya mengungkapkan adanya mafia, pihak-pihak yang mencari kesempatan untuk menumpang di tengah upaya pembebasan sandera. “Yang bahaya yang saya ungkap itu, ada oknum-oknum yang berusaha menjadi makelar, kelompok abu Sayyaf melalui Nur Misuari, menempel di perusahaan dan menempel di Kementerian Pertahanan,” kata Ulya.
“Adanya pihak-pihak yang mengatasnamakan utusan pemerintah RI, bahkan mengaku sebagai wakil menteri pertahanan. Ternyata dia orang sipil dan bukan pejabat pemerintah, kemungkinan berpotensi hanya ingin mengambil keuntungan dari kasus penyanderaan yang sedang terjadi,” kata Ulya. Dia mengaku memiliki detailnya namun tidak mau mengungkapkan.
Dia juga menegaskan bahwa pemerintah harus memberikan warning keras bagi para nelayan-nelayan Indonesia untuk tidak mencari ikan di sana. Seperti Eropa yang melarang kapal-kapal ikannya beroperasi di wilayah konflik. “Jika terjadi peristiwa menimpa warganya, itu risiko sendiri. Atau perusahaan. Itu paling tidak bisa menjadi upaya preventif, mencegah penyanderaan,” kata Ulya sambil menambahkan bahwa di perairan Sabah terdapat sedikitnya tiga ribu nelayan asal Indonesia.
Baca:
Di Aleppo, Paramedis Menangis Selamatkan Bayi di Inkubator
350 Anak Palestina Hidup dalam Penjara di Israel
Pihak Malaysia yang dihubungi Tempo membantah keras soal tudingan Ulya. Pejabat yang tidak mau disebut namanya tersebut menyatakan Tentera Laut Diraja Malaysia (TLDM) meningkatkan pengawasan perairan Sabah dengan menggerakkan lebih banyak aset pertahanannya sejak ancaman keselamatan yang merebak di pantai Barat negeri itu Maret lalu.
Aset pertahanan tersebut antara lain kapal patroli terbaru serta helikopter. Tentara laut Malaysia juga melakukan pengawasan negara selama 24 jam, tujuh hari seminggu.
Peristiwa penculikan kembali menimpa anak buah kapal asal Indonesia, Sabtu, 19 November 2016. Insiden yang terjadi sekitar pukul 19.20 waktu setempat menimpa Saparuddin bin Koni, 43 tahun, kapten kapal asal Bugis-Poliwali, Sulawesi Barat dan Sawal bin Maryam, 36 tahun, wakil kapten juga asal Bugis-Poliwali.
Peristiwa penculikan terjadi di Perairan Merabong antara Pulau Gaya dengan P. Pelda Sahabat Tungku, Lahad Datu, perairan Sabah. Saat kejadian, kapal diawaki oleh sekitar 15 ABK yang terdiri dari WNI dan suku Bajau Laut asal Filipina. Saat diserang, kapal sedang dalam perjalanan kembali ke pangkalan di Kunak, Sabah.
Beberapa waktu lalu dua kapten kapal juga diculik di perairan dekat Sungai Kinabatangan, Sabah. Namun kedua kapten kapal tersebut diketahui sudah berpindah tangan, dan kini dalam penyanderaan kelompok Abu Sayyaf.
NATALIA SANTI