TEMPO.CO, Jakarta - Pengadilan Hong Kong menyatakan Rurik Jutting bersalah atas dakwaan pembunuhan berencana terhadap dua perempuan migran Indonesia, Seneng Mujiasih dan Sumartiningsih. Hakim memutuskan Rurik dihukum penjara seumur hidup.
"Saya sangat puas dengan hasil putusan sidang yang menyatakan pelaku dihukum seumur hidup. Sebab, di Hong Kong, itu hukuman paling berat bagi pelaku kejahatan," kata Suratmi, ibu kandung Sumartiningsih, dalam pernyataan tertulis, Selasa, 8 November 2016.
Meski begitu, Suratmi masih belum ikhlas dengan perbuatan Rurik kepada anaknya. Ia meminta Rurik mengganti rugi biaya hidup dan masa depan keluarga yang dinafkahi Sumartiningsih.
Senada dengan Suratmi, ibunda Seneng, Juminem, juga lega penantian mereka mendapatkan keadilan dalam dua tahun ini berakhir. Juminem pun berterima kasih kepada majelis yang telah berpihak pada keluarganya. Namun Juminem merasa khawatir dengan masa depannya. "Kami berharap pelaku juga akan memberikan ganti rugi akibat kejadian ini," ujar Juminem.
Ketua Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (Kabar Bumi) Iweng mengatakan pihaknya akan terus melanjutkan perjuangan untuk mendapatkan ganti rugi dari pelaku. Saat ini, Kabar Bumi-Jaringan Buruh Migran Indonesia bekerja sama dengan Mission for Migrant Workers (MFFW) untuk menyiapkan tuntutan ganti rugi bagi keluarga korban.
"Pemerintah Indonesia harus memberikan sekolah gratis kepada anak almarhum Sumartiningsih dan pengobatan gratis kepada ibu almarhum Seneng Mujiasih," ucap Iweng.
Baca: Bunuh 2 WNI, Bankir Inggris Dipenjara Seumur Hidup
Sumartiningsih dan Seneng Mujiasih menjadi buruh migran di Hong Kong karena miskin. Karena takut dipotong gaji oleh agen dan proses panjang melalui Penyalur Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI), Seneng dan Sumarti akhirnya memilih jalur yang dianggap pemerintah tidak resmi untuk bisa bekerja dengan upah yang lebih baik.
Menurut Iweng, pemerintah mestinya belajar dari persoalan buruh migran. Adanya ketentuan Undang-Undang PPTKILN Nomor 39 Tahun 2004 tentang kewajiban buruh migran mendaftar pada agen bukanlah kebijakan yang bijaksana. Pemerintah, kata Iweng, hanya ingin lepas tanggung jawab dan menyerahkan rakyatnya untuk menjadi ladang bisnis bagi para mitra pemerintah.
Iweng pun menuntut pemerintah agar mencabut UU PPTKILN Nomor 39 tahun 2004 dan menggantinya dengan undang-undang yang memberikan perlindungan bagi buruh migran, sesuai dengan Konvensi PBB 1990 serta Konvensi ILO 188 dan 189. "Kami juga berharap pemerintah membantu keluarga korban mendapatkan ganti rugi, hak asuransi, dan kompensasi yang adil," tuturnya.
MAYA AYU PUSPITASARI