TEMPO.CO, Washington DC - Pemilihan Presiden Amerika Serikat hanya tinggal beberapa jam ke depan. Publik penasaran menanti siapakah yang bakal menghuni Gedung Putih, apakah Donald John Trump dari Partai Republik atau Hillary Rodham Clinton dari Partai Demokrat. Hal lain yang cukup mengganggu adalah kemungkinan peretasan sistem pemilihan saat hari-H oleh pihak asing.
Salah satu negara yang dituding bakal mengganggu jalannya pesta demokrasi di Amerika Serikat itu adalah Rusia. Meski demikian, para pejabat keamanan AS yakin bahwa Rusia tidak akan mampu menerobos sistem pengamanan cyber mereka. Pihak intelijen juga optimistis pemilihan presiden pada 8 November waktu setempat itu lolos dari serangan mata-mata dunia maya.
Direktur Intelijen Nasional, James Clapper, baru-baru ini mengungkapkan bahwa para pejabat tinggi Rusia membolehkan peretasan terhadap situs-situs Komite Nasional Demokrat dan kampanye partai itu. Pernyataan Clapper itu tidak mengherankan bagi para pakar cyber dan sudah lama menjadi kecurigaan.
"Ini untuk pertama kalinya sebuah negara asing terlibat langsung dalam pemilihan Presiden Amerika. Presiden Rusia Vladimir Putin tak hanya menyelidiki sistem digital kita, tapi juga respons politik kita untuk melihat sejauh mana dia dapat menebarkan benih ketidakpercayaan bagi landasan paling penting dalam demokrasi di negara mana pun, yakni pemilihan yang bebas dan adil," kata Clapper seperti dilaporkan CNN, akhir Oktober lalu.
Presiden Rusia Vladimir Vladimirovich Putin membantah keras tudingan itu. "Seriuskah ada orang yang menduga Rusia bisa mempengaruhi pilihan rakyat Amerika?" tanya Putin dalam sebuah konferensi kebijakan luar negeri di Sochi, baru-baru ini. "Apakah Amerika adalah ‘republik pisang’? Amerika adalah negara besar."
Menurut situs berita New York Times, ada sejumlah kemungkinan peretasan, antara lain pembocoran informasi besar-besaran. Contohnya adalah pesan-pesan dalam e-mail di komputer mantan anggota DPR, Anthony D. Weiner, yang mungkin terkait dengan Hillary. Pesan tersebut sampai di tangan WikiLeaks. Tidak ada yang tahu pasti data apa saja yang telah dicuri dan mungkin dibocorkan pada detik-detik terakhir kampanye.
Kemungkinan lainnya adalah penyusupan ke daftar pemilih. Hal ini yang banyak dikhawatirkan orang. Musim semi lalu, Biro Investigasi Federal Amerika (FBI) memperingatkan bahwa di Arizona, lalu Illinois, ada orang yang mengubah basis data pemilih, dan bahkan mengubah daftar pemilih resmi serta alamat mereka.
Selain itu, ada yang memanipulasi data yang dilaporkan ke media massa. Risiko tersebut mungkin saja terjadi, namun bisa terdeteksi. Media massa telah mengumumkan hasil tidak resmi pemilihan, sehingga bisa mengubah pendirian swing states atau negara-negara netral. Meski terdengar tidak masuk akal, hal tersebut terjadi di Ukraina baru-baru ini.
Yang paling mengkhawatirkan adalah gangguan jaringan Internet, sehingga menyulitkan koneksi ke tempat pemungutan suara. Bahkan koneksi yang lambat pun bisa sangat mengganggu.
Cara lainnya adalah mengganggu mesin voting. Di tiap kesempatan, para pejabat negara bagian maupun federal Amerika mengingatkan bahwa pemungutan suara di tiap negara bagian, dan bahkan di tiap wilayah, berbeda. Hal ini mempersulit peretasan.
"Mesin-mesin voting dibuat offline. Sistem ini sangat beragam, sehingga aman," kata Suzanne E. Spaulding, Wakil Menteri Keamanan Dalam Negeri yang mengurusi keamanan cyber.
Namun, meski benar terjadi peretasan pada hari-H, semua pejabat menegaskan bahwa hasil akhir pasti sah. "Hanya ada satu kabar yang ingin kami dengar, yakni pemilihan berlangsung adil," kata Denise Merrill, Menteri Negara Bagian Connecticut, yang juga Ketua Asosiasi Para Menteri Negara Nasional.
Merrill memastikan, jika peretas benar-benar menyerang sistem pemilihan, pejabat setempat siap menjalankan rencana cadangan, yakni menggunakan kertas suara.
CNN | TIME | NEW YORK TIMES | NATALIA SANTI