TEMPO.CO, Moskow - Ketegangan antara Rusia dan Amerika Serikat semakin meningkat. Hal tersebut ditandai dengan saling ancam serta kerap berseberangan dalam menanggapi isu-isu internasional terkini, khususnya dalam perang di Suriah.
Ketegangan ini diawali dengan perbedaan dukungan terhadap dua faksi yang saling berperang di negara Suriah. Rusia mendukung Presiden Suriah Bashar al-Assad. Sedangkan Amerika memilih mendukung pemberontak anti-Assad.
Baca:
Cina Tegaskan Dukung Rusia untuk Akhiri Konflik di Suriah
Putin-Erdogan Sepakat Akhiri Konflik Bersenjata di Suriah
Eks Presiden Uni Soviet, Gorbachev: Dunia di Titik Berbahaya
Sejak Rusia memulai kampanye serangan udara di Suriah pada September 2015, Moskow telah mengundang Washington untuk bergabung dalam pusat informasi di Bagdad yang didirikan bersama Iran, Irak, dan Suriah. Namun Amerika menolaknya. Sejak itu Amerika sering melontarkan kritik dan kecaman terhadap kampanye Rusia di Suriah tersebut.
Upaya damai yang dilakukan dua negara itu di Suriah menghadapi jalan buntu menyusul perbedaan kepentingan di antara keduanya. Rusia dan Amerika Serikat sempat sepakat melakukan gencatan senjata pada akhir September lalu. Namun, pada 3 Oktober, ketegangan kembali pecah, bahkan semakin memuncak.
Pasalnya, Amerika menuding Rusia dan tentara pemerintah Suriah melanggar perjanjian damai. Moskow dituduh menggencarkan serangan udara ke atas wilayah Aleppo. Sebagai balasan atas tudingan Amerika, Rusia menarik diri dari perjanjian pembuangan limbah plutionium dengan Amerika dan menyebut tuduhan Amerika sebagai permusuhan.
Presiden Rusia Vladimir Putin bahkan mengancam akan menembak jatuh setiap pesawat tempur koalisi Amerika yang berusaha menyerang tentara pro-Assad. Rusia mengarahkan rudal berhulu nuklirnya ke perbatasan Polandia, Kaliningrad, sebagai bentuk realisasi ancaman Putin.
Pada Senin, 10 Oktober 2016, Rusia mengumumkan rencana membangun pangkalan angkatan laut permanen di wilayah Tartus, Suriah. Rusia juga dilaporkan mempertimbangkan membangun markas militer di Mesir untuk pertama kalinya sejak Perang Dingin.
Ketegangan demi ketegangan tersebut membuat spekulasi itu mengarah pada pecahnya Perang Dunia III. Bahkan militer Amerika dikabarkan telah mempersiapkan diri untuk menghadapi perang tersebut. Salah satu petinggi militernya menyebutkan ada tiga hal yang akan memancing Amerika ke dalam Perang Dunia III tersebut, salah satunya agresivitas militer Rusia.
Media Rusia juga menyebutkan cara Putin menangani konflik Suriah dapat menyulut pecahnya Perang Dunia III, yang diramalkan akan menjadi perang paling mematikan dan menghancurkan sepanjang sejarah. Beberapa tokoh masyarakat juga telah membandingkan konfrontasi di Suriah dengan Krisis Misil Kuba.
TELEGRAPH | YON DEMA