TEMPO.CO, Bogota—Pemimpin oposisi Kolombia sekaligus bekas presiden Alvaro Uribe mengajukan proposal pembanding untuk menggantikan kesepakatan damai yang telah diteken pemerintah dan kelompok pemberontak Marxis Tentara Pembebasan Kolombia (FARC) pada 26 September 2016.
Meski telah diteken Presiden Juan Manuel Santos dan pemimpin FARC Rodrigo Londono, alias Timochenko, kesepakatan ini ditolak oleh rakyat Kolombia dalam referendum yang digelar pada 2 Oktober 2016.
Agar kesepakatan damai untuk menghentikan konflik berdarah selama 52 tahun di Kolombia ini tetap terlaksana, Uribe yang kini popular sebagai pemimpin kelompok “No” mendesak agar pemimpin FARC yang terbukti melakukan kejahatan perang dibui selama 5-8 tahun. Ia juga meminta para petinggi FARC dilarang berpolitik.
Kepada Presiden Santos di Ibu Kota Bogota pada Senin waktu setempat, Uribe menolak poin kesepakatan yang menyebut para pemimpin FARC akan menerima hukuman non-bui seperti membersihkan ranjau darat.
Uribe yang selama menjabat berhasil memojokkan FARC berkat operasi militernya, menilai hukuman itu terlalu ringan dibanding kejahatan para pemberontak yang dikenal suka menculik, merekrut anak untuk tentara hingga berdagang narkoba.
Tapi Uribe setuju jika 7.000 milisi FARC yang tidak terlibat kejahatan kemanusiaan diberi manesti dan membantu memberantas perkebunan koka, bahan mentah kokain.
Santos yang baru saja menerima hadiah Nobel Perdamaian 2016 berkat perannya mengusahakan perdamaian di Kolombia, menyebut syarat ini harus segera diajukan kepada FARC.
Namun Santos meragukan proposal Uribe karena persyaratannya tidak sesuai yang diinginkan FARC. “Proposalnya seharusnya tidak mustahil,” kata Santos seusai pengumuman perundingan damai dengan kelompok pemberontak terbesar kedua Kolombia, ELN.
REUTERS | SITA PLANASARI AQUADINI