TEMPO.CO, Yangon - Pemerintah Myanmar mengumumkan penghapusan undang-undang (UU) paling otoriter yang sebelumnya digunakan rezim militer untuk membungkam lawan-lawan politik.
Seperti dilansir Channel News Asia pada 5 Oktober 2016, undang-undang yang dihapus tersebut adalah Undang-Undang Ketentuan Darurat yang memberikan kekuasaan yang luas kepada aparat untuk menahan orang tanpa melalui proses pengadilan dan diperbolehkan menghukum dengan bukti yang minim.
Baca: Obama Kritik kebijakan Perangi Narkoba, Duterte: Go to Hell!
Anggota parlemen dari Liga Nasional untuk Demokrasi (LND) pimpinan Aung San Suu Kyi yang memiliki suara mayoritas di parlemen mengatakan persetujuan penghapusan Undang-Undang Ketentuan Darurat telah disetujui senat dan DPR. Jadi, dalam waktu dua minggu ini, undang-undang itu secara legal tidak berlaku lagi.
"Hukum ini digunakan oleh kediktatoran sosialis untuk menangkap siapa pun yang mencoba melawan mereka. Sekarang kita telah menghapusnya, karena kita memiliki pemerintahan yang diusung rakyat," kata Tun Tun Hein, Ketua Komite RUU Parlemen.
Sebelum disepakati untuk dianulir, 25 persen anggota parlemen dari militer menentangnya dengan alasan Undang-Undang Ketentuan Darurat penting untuk keamanan nasional.
Baca: Merpati Bawa Surat dari Milisi Pakistan ke PM India Dibui
Hukum tersebut diperkenalkan pada 1950 atau sesaat setelah Myanmar merdeka. Undang-undang itu pada awalnya dibuat untuk membendung pemberontakan, tapi kemudian sering digunakan terhadap aktivis setelah militer merebut kekuasaan lewat kudeta tahun 1962.
Sejak Suu Kyi bersama LND merebut kekuasaan dari junta militer, beberapa aktivis yang dipenjara telah dibebaskan. Penghapusan undang-undang tersebut mendapatkan sambutan baik dari kalangan aktivis yang pernah merasakan ketidakadilan di masa junta.
Thein Than Oo, pengacara dan mantan tahanan politik, mengaku telah dipenjarakan dua kali di bawah hukum yang menurutnya sangat keras dan tidak adil.
CHANNEL NEWS ASIA | YON DEMA