TEMPO.CO, Ankara - Salah satu partai oposisi Turki, Partai Rakyat Republikan (CHP), sudah mengingatkan pemerintah akan bahaya kudeta 15 Juli 2016, sebelum peristiwa berdarah itu terjadi. Dalam percakapannya dengan 14 wartawan Asia Tenggara termasuk Tempo yang mengunjungi Angkara pada Senin, 3 Oktober 2016, Selin Sayek Boke, Wakil Ketua CHP, mengatakan konservatisme yang dibawa ulama Fethullah Gulen -- kini tinggal di pengasingan di Pensilvania Amerika Serikat -- merupakan bom waktu bagi rakyat Turki.
CHP merupakan partai oposisi terkuat di Turki saat ini. Partai ini memperjuangkan sekularisme, ide yang dulu digagas Mustafa Kemal Ataturk, pendiri CHP dan bapak Turki modern. "Kudeta mempermalukan demokrasi dan mempermalukan partai-partai di Turki," kata Selin di komplek parlemen Turki. "Kup juga menimbulkan ketakutan yang luas di kalangan rakyat," kata Selin lagi.
CHP mendesak pemerintah menginvestigasi pelaku kudeta berdarah itu. Selin menyesali kudeta yang menurutnya telah membawa demokrasi Turki surut ke belakang. Saat ini pemerintah Recep Tayyip Erdogan memberlakukan keadaan darurat, menutup koran, radio dan televisi. Puluhan wartawan dipenjara karena dianggap mendukung kudeta. Hubungan Turki dengan sejumlah negara sahabat memburuk. Salah satunya adalah Amerika Serikat yang memberikan perlindungan kepada Gulen.
Soal keterlibatan Gulen dalam kudeta sebetulnya belum jelas betul. Pers barat menilai kudeta digagas Erdogan sendiri untuk memperkuat posisi politiknya. Indikasi yang kerap dipakai adalah singkatnya waktu yang dipakai pemerintah -- kurang dari 24 jam -- untuk menggulung perwira militer pelaku kup. Kepada sejumlah wartawan Indonesia yang mengunjunginya di Amerika Serikat beberapa bulan lalu, Gulen menyangkal perannya dalam kudeta.
Mengutuk kudeta, CHP juga mengkritik pemerintah Erdogan yang semakin konservatif. Gulen dan Erdogan, menurut Celin membawa ide konservatifisme yang sama. "Ketika berkuasa pada 2002, Partai Keadilan dan Pembangunan, partai asal Erdogan, berjanji tak akan menggunakan agama dalam rekrutmen birokrasi. Saat ini hal itu lah yang terjadi," kata Celin. Ia juga mencemaskan makin berkurangnya pendidikan sekular bagi rakyat Turki.
Wakil Ketua Partai Keadilan dan Pembangunan, Mehmet Naci Bostanci, yang juga menemui delegasi wartawan Asia Tenggara membantah di bawah pemerintahannya demokrasi di Turki sedang berjalan mundur. "Saat ini demokrasi Turki semakin kuat, kami makin terbuka dengan dunia luar," katanya.
Ke 14 wartawan akan berada di Turki hingga Kamis 6 Oktober 2016. Mereka datang dari Indonesia, Malaysia, Kamboja dan Vietnam. Delegasi semula diagendakan bertemu Presiden Recep Tayyip Erdogan dan Perdana Menteri Binali Yildirim di Istana Kepresidenan. Namun pertemuan itu dibatalkan tanpa alasan yang jelas.
ARIF ZULKIFLI (ANKARA)