TEMPO.CO, Jakarta -Shimon Peres, sahabat dan pengagum Gus Dur
meninggal pada Rabu pagi tadi, 28 September 2016. Shimon Peres semasa hidupnya dikenal sebagai salah satu pemimpin dunia yang bersahabat dengan mendiang Adurrahman Wahid alias Gus Dur. Dalam berbagai kesempatan formal maupun informal, keduanya kerap saling memuji.
Pujian kepada Presiden Indonesia ke-4 itu disampaikan lagi oleh Peres ketika ia menemui delegasi lima wartawan Indonesia, termasuk Tempo, di kantornya di dekat Tel Aviv, akhir Maret 2016 lalu. Di ruang kerjanya yang menghadap ke Laut Mediterania itu, mantan pemimpin Israel berusia 93 tahun itu berbicara dengan runtut dan mengingat berbagai peristiwa dengan jernih.
“Abdurrahman Wahid adalah pemimpin besar,” katanya. Peres mengatakan sahabatnya itu adalah pemimpin yang punya wawasan luas tentang bagaimana membangun bangsa dan perdamaian dunia. Selama hampir sejam pertemuan, berulang kali Peres menyebut nama Gus Dur.
Ia juga bercerita bahwa hubungan Indonesia-Israel seharusnya bisa terjalin ke arah yang lebih baik di masa mendatang. “Meski tidak mudah karena berbagai faktor dan politik dalam negeri Indonesia. Tapi, pada dasarnya, tantangan hidup di masa mendatang tak mungkin lagi dihadapi sendiri oleh setiap negara. Semakin hari, batas-batas wilayah semakin tak berarti dan kita memasuki era yang sama sekali berbeda.”
Lagipula, katanya, “Jarak antara Indonesia dan Israel berjauhan. Kita tak saling berbatasan, sehingga tak ada yang perlu dikhawatirkan seperti bila kita bertetangga. Israel tak mungkin menyerang Indonesia, begitu juga sebaliknya. Bekerja sama akan jauh lebih baik dan membuka banyak sekali peluang yang akan menguntungkan kedua pihak.”
Menurutnya, di masa depan, hanya bangsa yang mampu berinovasi yang akan bertahan. Kemampuan untuk mengembangkan pengetahuan dan menciptakan peluang adalah kunci bagi bangsa mana pun untuk bisa tampil sebagai pemenang.
Dia kemudian mencontohkan perjalanan Israel. Bangsa kecil yang terusir atau berasal dari berbagai penjuru dunia, yang kemudian kembali di tanah leluhur yang kering. Di dalam bumi pun mereka tak punya hasil tambang yang berharga. Maka satu-satunya yang bisa mereka kembangkan adalah sumber daya manusianya, hingga sekarang mereka menjadi bangsa yang diperhitungkan di dunia. “Di sanalah faktor yang paling menentukan itu.”
Y. TOMI ARYANTO