TEMPO.CO, Vientiane - Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto saat bertemu negara anggota ASEAN di Laos, membahas kembali hasil pelaksanaan Rapat Internasional Penanggulangan Terorisme (IMCT), yang dilaksanakan bulan lalu, di Bali.
Pelaksanaan IMCT saat itu, kata Wiranto, berguna bagi negara-negara untuk menghadapi tren terorisme era modern.
“IMCT dilaksanakan untuk menanggapi ancaman teroris yang baru muncul, yakni aktivitas teroris lintas batas dan foreign terrorist fighter,” ujar Wiranto lewat keterangan pers Kemenkopolhukam, Selasa, 6 September 2016.
Wiranto, kepada peserta ASEAN Political Security-Community Council ke-14 itu, menyampaikan bahwa IMCT yang terlaksana pada 8 Agustus 2016, juga membahas penggunaan teknologi dunia maya, dan mobilitas peningkatan pembiayaan terorisme.
Wiranto menegaskan lagi pentingnya mengadakan kerja sama antarnegara dalam melawan ancaman baru terorisme. IMCT, kata dia, juga menyoroti urgensi perluasan dan peningkatan intensitas program deradikalisasi dan kontra-radikalisme, untuk mengatasi akar penyebab masalah terorisme.
Wiranto berulang kali mengingatkan bahwa terorisme adalah masalah yang dihadapi dunia internasional. “ASEAN tidaklah imun terhadap serangan teroris, sehingga (kita) perlu memaksimalkan konvensi ASEAN tentang pencegahan terorisme,” ujarnya.
Dia pun mengungkit munculnya tantangan regional baru, yang berkaitan dengan keamanan siber. Keamanan siber, menurut Wiranto, sangat rumit karena berhubungan dengan kecanggihan. “Untuk itu, ASEAN harus memberikan perhatian lebih dan melibatkan badan-badan lain yang relevan.”
Isu terorisme memang dibawa Presiden Joko Widodo ke sejumlah forum internasional, salah satunya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 yang diselenggarakan di Hangzhou, Cina. Saat menjadi pembicara utama pada sesi kedua G-20, Senin, 5 September 2016, Jokowi menekankan tidak adanya kaitan antara terorisme dan agama.
“Saya tadi sampaikan secara tegas, bahwa tidak ada kaitan antara terorisme dengan agama, khususnya agama Islam,” ujar Jokowi dikutip dari keterangan pers Biro Media dan Informasi Sekretariat Presiden yang diterima Tempo, Selasa, 6 September 2016.
Menurut Jokowi, terorisme juga harus ditanggulangi dengan bijak, yaitu lewat pendekatan soft power dan hard power. “Ini yang terus kita tekankan,” ujar Presiden.
Pendekatan hard saat ini dilakukan pemerintah, melalui Polri, yang diupayakan melakukan penegakan hukum secara transparan. Upaya itu didukung informasi dari pihak intelijen dan TNI. Sedangkan, pendekatan soft adalah berupa program deradikalisasi, yang merupakan kerja sama pemerintah RI dengan berbagai lembaga keagamaan.
YOHANES PASKALIS