TEMPO.CO, Jakarta - Sekitar satu juta warga Venezuela berbaris di jalanan dalam upaya pemakzulan Presiden Venezuela Nicolas Maduro. Warga Venezuela mendesak Maduro mundur lantaran krisis besar-besaran yang melanda negara itu.
“Inflasi 1.000 persen dan kelumpuhan ekonomi,” kata seorang demonstran, Moises P. Ramirez, saat dihubungi Tempo, Sabtu malam, 3 September 2016.
Baca:
Lakukan Kekerasan, Venezuela Tangkap Oposisi
Pemerintah dan Oposisi Venezuela Minta Vatikan Turun Tangan
Menurut Ramirez, pemerintahan Maduro dikenal populis-sosialis yang korup. Maduro dinilai tidak mampu mengelola pemasukan dari sektor minyak. Saat harga minyak turun, negara itu pun terjebak krisis keuangan yang besar.
Ramirez berujar, Venezuela terkenal sebagai negara minyak hampir seratus tahun. Masyarakat memiliki harapan tinggi terhadap Maduro. Namun, pada pemerintahan Maduro, praktek populisme meroket sehingga membuat harapan rakyat jatuh dalam dua tahun terakhir. Akibatnya, hampir 90 persen warga Venezuela menolak pemerintahan Maduro.
Pada 2014, demonstrasi berlangsung hanya dari para mahasiswa. Saat itu pemerintah menjawab dengan langkah represi yang kuat. “Sekarang tidak hanya mahasiswa, tapi semua orang sudah muak dan memprotes,” tuturnya.
Unjuk rasa terbesar terjadi pada Kamis, 1 September 2016. Ramirez mengatakan kejadian tersebut sebagai tindakan tekanan politik untuk pemakzulan pemerintahan secara konstitusional tahun ini. Ia mengaku tidak ingin menjatuhkan pemerintahan Maduro dengan kudeta militer, meskipun saat ini adalah salah satu rezim militer.
Dengan beberapa anggota militer dan pegawai negeri sipil yang terjerat narkoba, pemerintahan menjadi lebih buruk. Bahkan kondisi itu menyeret sebagian dari keluarga Presiden, gubernur negara bagian, dan perwakilan majelis nasional di Venezuela.
Ramirez menuturkan kemarin malam Presiden Maduro dicemooh dengan suara panci dan nampan. Maduro dicemooh orang-orang miskin dan mantan pengikut partainya di Pulau Margarita.
DANANG FIRMANTO